Level-Level AI Agent Dari Model Biasa sampai Sistem yang Bisa Berkembang Sendiri

Level-Level AI Agent Dari Model Biasa sampai Sistem yang Bisa Berkembang Sendiri - Ryan Pratama
Select Language:

Tentang cara membedakan Level-Level AI Agent Dari Model Biasa sampai Sistem yang Bisa Berkembang Sendiri “cuma jawab” dengan agent yang bisa merencanakan, berkolaborasi, sampai minta dibuatkan agent baru.


Halo teman semua setelah pembahasan How AI Agents Solve Problems: Understanding the 5-Step Cycle of “Mission → Scan Context → Think → Act → Observe & Repeat”.

At ryanpratama.com, I often talk about websites, hosting, , and the digital ecosystem.

Beberapa tulisan terakhir, kita sudah jalan pelan-pelan:

  • dari AI prediktif yang tanya jawab ke autonomous agents,
  • mengenal anatomi agent (otak, tangan, sistem saraf, tubuh),
  • sampai memahami siklus 5 langkah: Misi → Scan → Think → Act → Observe.

Sekarang, kita masuk ke bagian menarik dari whitepaper Introduction to Agents :

Bagaimana mengklasifikasikan level-level kemampuan AI agent, dari yang paling sederhana (hanya model) sampai yang bisa belajar dan berkembang sendiri.

Mereka menyebutnya “A Taxonomy of Agentic Systems”, dengan level 0 sampai 4.
Saya coba terjemahkan dan ceritakan dengan bahasa yang lebih santai semoga bisa di pahami.


A small disclaimer before we begin

Pembahasan yang saya tulis di sini muni untuk tujuan pemahaman bersama. Saya berusaha menerjemahkan dan merangkum materi seakurat mungkin dari whitepaper “Introduction to Agents and Agent Architectures”.

Still, there may be parts of the translation or explanation that are inaccurate.

If you find any errors, explanations that seem odd, or have a different perspective, I am very open to discussion. Please share your thoughts in the comments section so that we can learn and correct things together.


Kenapa Harus Ada “Level” Segala?

Di halaman 14–18, penulis whitepaper mencoba menjawab satu hal sederhana:

Tidak semua agent itu sama.

Ada yang hanya nyambung ke tools, ada yang bisa menyusun strategi, ada yang bekerja dalam tim multi-agent, dan ada yang bahkan bisa “mengembangkan dirinya sendiri”.

Buat kita sebagai pengguna, developer, atau orang yang tertarik mengadopsi teknologinya, punya bahasa leve ini membantu:

  • supaya tidak semua hal kita sebut “agent”,
  • supaya ekspektasi kita realistis,
  • dan supaya kita tahu:
    • kapan cukup pakai Level 1,
    • kapan perlu naik ke Level 2 atau 3,
    • dan kapan Level 4 masih terlalu jauh untuk kebutuhan kita.

Skala yang dipakai kira-kira begini:

Level 0 → 1 → 2 → 3 → 4
dari satu model yang berdiri sendiri,
ke sistem multi-agent yang bisa berkembang dan menciptakan kemampuan baru.

Mari kita bahas satu-satu.


Level 0: Model Bahasa Murni — Pintar, Tapi “Buta” Dunia Nyata

In Level 0, kita bahkan belum bicara soal menjadi AI “agent” dalam arti penuh.
Yang ada adalah LM (Language Model) murni atau biasa di kenal (LLM Large Language model) yang:

  • dilatih dengan sangat banyak data,
  • bisa menjelaskan konsep,
  • bisa bantu menyusun rencana secara teori,
  • but tidak punya akses ke dunia nyata: tidak bisa melihat kejadian terbaru, tidak bisa memanggil API, tidak punya memori di luar konteks percakapan.

Example:

  • kamu tanya soal konsep desain sistem,
  • minta dijelaskan cara kerja ,
  • minta dibuatkan draft artikel,
  • minta dijelasin perbedaan shared hosting vs VPS,

Level 0 sudah sangat berguna.

Tapi kalau kamu tanya:

  • “Skor pertandingan sepak bola tadi malam berapa?”
  • “Berapa saldo di akun bank saya?”
  • “Status paket saya yang dikirim kemarin bagaimana?”

Model Level 0 tidak tahu, because:

  • datanya berhenti di tanggal tertentu, dan harus di update manual
  • dan dia tidak bisa memanggil tools atau API untuk “melihat internet sekarang”.

Kapan cukup pakai Level 0?

  • Untuk belajar konsep,
  • nulis draft,
  • brainstorming,
  • simulasi dialog,
  • penjelasan teori.

Begitu butuh data real-time or aksi nyata di sistem lain, kita butuh naik level agar bisa menggunakan tools.


Level 1 Connected Problem-Solver — Model + Tools

In Level 1, LM yang tadinya “terkurung” dalam data latihannya mulai diberi “tangan”: tools.

Di sini, agent bisa:

  • memanggil API,
  • melakukan web search,
  • query database,
  • menggunakan RAG (Retrieval-Augmented Generation) untuk mencari dokumen,
  • dan secara umum: mengambil data terbaru atau fakta spesifik yang nantinya bisa kita validasi.

Example:

Misi: “Beritahu saya skor pertandingan Liverpol tadi malam.”

Agent Level 1 akan:

  • Think:
    • “Ini butuh data real-time, jadi aku harus pakai tool search.”
  • Act:
    • memanggil tool search dengan kata kunci dan tanggal yang tepat.
  • Observe:
    • membaca hasilnya dan merangkai jawaban:
      • “Liverpol kalah dari MU semisal 1–2.”

Hal yang sama bisa terjadi di:

  • dunia keuangan (cek harga saham),
  • e-commerce (cek stok & status pesanan),
  • logistik (cek resi),
  • dan banyak dunia lain.

Kunci Level 1:

  • model sudah terhubung ke dunia luar,
  • but masih menangani tugas-tugas yang relatif sederhana,
  • satu misi biasanya bisa dipecah jadi beberapa panggilan tool,
  • tetapi masih belum masuk ke perencanaan kompleks berskala besar.

Contoh use case:

  • chatbot yang bisa cek status order,
  • asisten yang bisa melihat jadwal kalender,
  • sistem tanya jawab yang bisa menarik dokumen terbaru dari knowledge base.

Level 2 Strategic Problem Solver Mulai Punya “Strategi” dan Context Engineering

Level 2 adalah lompatan besar dalam dunia AI Agent.

Di sini, agent bukan hanya:

  • tahu kapan harus memanggil tools,

tapi juga:

  • bisa menyusun rencana multi-langkah,
  • mengatur context yang relevan di setiap langkah,
  • dan memilih data mana yang penting untuk dibawa ke dalam model pada saat tertentu.

Ini sering disebut sebagai context engineering.

Contoh: Cari Kopi di Tengah Kota

Misi:

“Carikan coffee shop yang enak di tengah Kota Surabaya

Agent Level 2 bisa:

  1. Think:
    • “Aku perlu tahu titik tengah geografisnya.”
  2. Act (langkah 1):
    • panggil tool peta dengan alamat.
  3. Observe:
    • “Titik tengahnya ada di sekitar Jln Tunjungan.”
  4. Think lagi:
    • “Sekarang aku butuh cari coffee shop yang ratingnya bagus di Jln Tunjungan.”
  5. Act (langkah 2):
    • call tool google_places dengan query “coffee shop in Jln Tunjungan Surabaya, rating >= 4.0”.
  6. Observe:
    • hasilnya misalnya dua tempat dengan rating bagus.
  7. Synthesize:
    • merangkum dan menyarankan ke user.

Yang menarik di sini:

  • agent mengubah hasil langkah sebelumnya menjadi query baru yang lebih fokus,
  • ia tidak hanya memanggil tools secara buta,
  • but memilih apa yang penting untuk dipakai di langkah berikutnya.

Di kehidupan nyata, Level 2 ini cocok untuk:

  • sistem yang harus merangkai beberapa sumber data,
  • workflow yang tidak terlalu panjang tapi punya logika bercabang,
  • misalnya:
    • asisten rencana perjalanan,
    • helper analisis data,
    • atau asisten internal yang membaca email dan otomatis menambahkan event ke kalender.

Level 3 Collaborative Multi-Agent System Tim Agent dengan “Project Manager”

Kalau Level 2 masih tentang satu agent yang cukup cerdas,
Level 3 membawa analogi organisasi manusia ke dalam dunia AI:

bukan satu super-agent, tapi “tim agent spesialis” yang bekerja sama.

Di sini, kita mulai bicara tentang:

  • agent koordinator / project manager,
  • dan beberapa agent spesialis yang fokus pada tugas tertentu.

Contoh: Launch Produk Kopi Shop

Misi:

“Luncurkan produk baru Kopi shop di Kota Surabaya.”

Alih-alih satu agent yang mengurus semuanya, sistem Level 3 akan mememcahnya :

  • punya ProjectManagerAgent which:
    • menerima misi besar,
    • memecahnya jadi beberapa sub-misi.
  • lalu memberikannya ke agent-agent lain:
    1. MarketResearchAgent
      • misi: analisis harga kompetitor dan positioning produk.
    2. MarketingAgent
      • misi: buat draft press release, materi campaign, dsb.
    3. WebDevAgent
      • misi: buat HTML/CSS untuk halaman produk berdasarkan desain.

Dalam sistem ini:

  • tiap agent punya spesialis lebih sederhana,
  • bisa dioptimasi untuk tugas tertentu,
  • and koordinator lah yang memegang kendali alur besar.

Kenapa ini penting?

  • mirip dengan dunia kerja:
    • satu orang yang jago semuanya itu langka,
    • biasanya yang efektif adalah tim kecil dengan peran jelas.
  • di dunia agent, pola yang sama mulai dipakai untuk:
    • riset ilmiah,
    • otomatisasi ,
    • perencanaan proyek besar.

Whitepaper menekankan bahwa ini masih dibatasi oleh kemampuan reasoning model saat ini, tapi ini adalah arah perkembangan ke depan untuk mengotomasi proses bisnis yang panjang dan kompleks.


Level 4 Self-Evolving System Agent yang Bisa Meminta Dibuatkan Agent/Tool Baru

Ini level yang paling “sci-fi”, tapi sudah mulai diteliti secara serius.

In Level 4, kita tidak hanya punya tim agent.
Kita punya sistem AI agent yang bisa mengembangkan kemampuan dirinya sendiri.

Meaning:

  • agent bisa sadar:
    • “Aku butuh kemampuan X, tapi sekarang aku tidak punya tool atau agent yang bisa melakukan itu.”
  • alih-alih menyerah, ia bisa:
    • memanggil meta-tool or AgentCreator for:
      • membuat agent baru, atau
      • membuat tool baru,
      • menguji dan mengintegrasikannya ke tim.

Contoh Butuh Pengawas Media Sosial

Dalam proyek peluncuran produk tadi, misalnya:

  • ProjectManagerAgent menyadari:
    • “Aku perlu memantau kampanye di media sosial soal ‘Kopi shop”, tapi di tim saat ini belum ada yang melakukan itu.”

Di Level 4, ia bisa:

  1. Think (meta):
    • “Aku butuh SentimentAnalysisAgent yang bisa:
      • memantau kata kunci tertentu,
      • melakukan analisis sentimen,
      • dan mengirim ringkasan harian.”
  2. Act:
    • memanggil tool / sistem yang tugasnya memang:
      • merancang agent baru,
      • membuatnya,
      • menguji dengan beberapa skenario,
      • lalu menambahkan ke sistem.
  3. Observe:
    • sekarang tim punya anggota baru: SentimentAnalysisAgent,
    • yang siap menjalankan misi terkait media sosial.

Di sini, agentic system berubah dari:

  • “sekumpulan kemampuan yang tetap”

menjadi:

  • “organisasi digital yang bisa bertambah kemampuan ketika dibutuhkan.”

Ini tentu penuh tantangan:

  • keamanan,
  • kontrol,
  • akuntabilitas,
  • dan governance.

Tapi level ini menggambarkan visi jangka panjang sistem yang tidak hanya menjalankan perintah, tapi juga bisa memperluas cara ia bekerja.


Jadi, Kita Harus Langsung Kejar Level 4?

Belum tentu.

Kalau kita turunkan ke kehidupan sehari-hari:

  • banyak kebutuhan bisnis kecil-menengah cukup dengan Level 1–2,
  • beberapa perusahaan besar dan proyek kompleks mungkin akan mulai menggunakan di Level 3,
  • Level 4 masih lebih cocok diposisikan sebagai arah penelitian dan visi jangka panjang, bukan target jangka pendek semua orang.

Yang penting justru:

  • kita tahu bedanya tiap level,
  • tidak terjebak menyebut semua hal “super agent”,
  • dan bisa memilih level mana yang realistis dan aman untuk konteks kita.

Penutup Tidak Semua Masalah Butuh Level Tertinggi

Dari halaman 14–18 whitepaper ini, saya merasa terbantu oleh satu hal:

adanya bahasa yang jelas untuk membedakan jenis-jenis agent dan tingkat kemampuan mereka.

Ringkasnya:

  • Level 0 – model bahasa murni: jago menjelaskan, tapi tidak lihat dunia nyata.
  • Level 1 – model + tools: bisa ambil data real-time, cek status, query database.
  • Level 2 – strategic problem solver: mulai menyusun rencana multi-langkah dengan context engineering.
  • Level 3 – multi-agent system: tim agent spesialis dengan koordinator / project manager.
  • Level 4 – self-evolving system: bisa minta dibuatkan agent/tool baru ketika menemui batas kemampuan.

Buat saya pribadi, memahami level-level ini membantu untuk:

  • lebih tenang menghadapi hype tentang AI,
  • lebih realistis saat merencanakan otomatisasi,
  • dan lebih jelas melihat: di mana peran manusia tetap penting sebagai perancang, pengawas, dan pemberi arah.

Karena pada akhirnya, secanggih apa pun agent yang kita bangun, kitalah yang memutuskan batasannya, dan bagaimana ia dipakai untuk membantu hidup dan kerja bukan menggantikan seluruhnya.

Previous Article

Boncafe - Pregolan

Write a Comment

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *