Tentang pergeseran pelan-pelan dari Dari AI Prediktif ke AI Agent “AI yang kita suruh-suruh” menjadi “AI yang bisa ikut mengerjakan pekerjaan bersama kita”. (kalau di iron man kayak jarvis tapi versi 0.1)
Kali ini saya ingin mengajak kamu melihat satu perubahan besar yang sedang terjadi di dunia AI:
Perubahan dari AI yang cuma bisa “tanya → jawab → selesai”,
Ke sebuah sistem yang bisa punya tujuan, bikin rencana, dan mengeksekusi langkah demi langkah seperti seorang asisten tapi digital.
Perubahan ini di banyak disebut sebagai transisi dari predictive artificial intelligence to autonomous agents. (Dihalaman 6-7 ya bisa kamu baca juga)
Tulisan ini bukan tutorial teknis, bukan juga promosi tools tertentu. Ini lebih ke catatan pemahaman: apa sih sebenarnya yang berubah, dan kenapa perubahan ini penting buat kita yang hidup di dunia digital entah sebagai developer, desainer, pemilik bisnis, atau sekadar penasaran.
Table of Contents
Disclaimer before we begin
Pembahasan yang saya tulis di sini murni untuk tujuan pemahaman bersama (Agak malu kalau mau bilang eduksi). Saya berusaha menerjemahkan dan merangkum materi seakurat mungkin dari berbagai referensi teknis tentang AI agents, termasuk whitepaper “Introduction to Agents and Agent Architectures”.
Tetap saja, selalu ada kemungkinan ada bagian terjemahan atau penjelasan yang kurang tepat.
Kalau teman menemukan kesalahan, penjelasan yang terasa janggal, atau punya perspektif lain, saya sangat terbuka untuk berdiskusi. Silakan sampaikan di kolom komentar, supaya kita bisa belajar bersama.
From AI that Only Responds to AI that Works Together
Selama beberapa tahun terakhir, hampir semua orang mengenal dan emnggunakan AI dalam bentuk yang sangat spesifik:
- kita mengetik pertanyaan,
- model memproses,
- lalu muncul teks, gambar, atau kode sebagai jawaban.
Semuanya satu arah and satu kali jalan. AI bekerja di satu titik waktu dan selesai.
Kalau butuh langkah berikutnya, kita yang harus memberi perintah lagi.
Jadi tidak punya ingatan sebelumnya.
Di whitepaper yang saya baca, fase ini disebut sebagai era passive, discrete tasks: AI digunakan untuk tugas-tugas yang jelas, pendek, dan lupa, misalnya:
- menjawab pertanyaan seperti mesin pencari yang lebih pintar,
- menerjemahkan teks,
- membuat gambar dari prompt,
- merangkum dokumen.
Kelebihannya, model-model ini luar biasa kuat di hal-hal seperti:
- memprediksi kata berikutnya,
- mengisi kekosongan,
- atau menjahit informasi dari data pelatihan.
Tapi ada satu sisi yang mulai terasa terbatas:
mereka selalu menunggu perintah, dan hampir tidak punya inisiatif.
Predictive AI: Smart, But Still Waiting for Commands
Kalau boleh diibaratkan, AI di fase lama ini seperti pekerja lepas yang sangat jenius, tapi:
- setiap kali kamu butuh sesuatu, kamu harus menyusun instruksi lengkap biasa di kenal promt (mangkanya dulu banyak yang jualan),
- dia akan mengerjakan satu tugas itu dengan sangat baik,
- setelah selesai, hubungan “kerja” langsung putus.
Tidak ada:
- ingatan jangka panjang,
- rencana jangka panjang,
- atau tanggung jawab terhadap “misi” yang lebih besar selanjutnya.
Contoh sederhana:
Kamu minta, “tolong buatkan itinerary ke Jepang 5 hari”.
AI membuat daftar rapi, selesai.
Tapi untuk: beli tiket, cek kurs, pesan hotel, kasih pengingat H-1, dsb.,
kamu tetap harus memintanya satu per satu — dan sebagian besar masih manual.
Padahal di dunia nyata, problem kita seringkali bukan “tugas satu langkah dan selesai”, tapi rangkaian proses:
- mengurus bisnis,
- mengelola proyek,
- membangun website dari nol,
- sampai mengotomasi kerja admin harian.
Di sinilah muncul ide: kalau AI tidak hanya menjawab, tapi juga bisa merencanakan dan bertindak, lalu apa yang berubah?
When AI Begins to Be Given Commands in the Form of “Missions” Rather Than Just Questions
Ini adalah Perubahan besar yang dibahas di dokumen “From Predictive AI to Autonomous Agents” adalah pergeseran cara kita berinteraksi dengan AI:
Dari yang tadinya:
“Ini pertanyaannya, bantu jawab dong.”
Menjadi:
“Ini tujuannya. Tolong pikirkan langkah-langkahnya, ambil tindakan yang perlu, dan lapor hasilnya ke saya.”
AI di sini bukan lagi sekadar model yang memproduksi teks. Ia berubah menjadi aplikasi lengkap yang punya:
- tujuan (goal / mission),
- rencana (plan),
- tindakan (actions) lewat tools atau API,
- and loop berpikir untuk mengevaluasi apakah sudah mendekati tujuan atau belum.
Inilah yang disebut sebagai AI Agent: sistem yang menggabungkan kemampuan reasoning model bahasa dengan kemampuan bertindak melalui tools dan integrasi lain, sehingga bisa menangani tugas yang panjang dan memiliki tingkatan, tanpa kita harus mengarahkan setiap langkahnya.
From “Answer Once” to “Think – Act – Observe”
Bisa kamu baca disini untuk lebih lengkapnya https://arxiv.org/pdf/2201.11903
Bedanya AI prediktif dengan agent bisa dilihat dari cara mereka bekerja:
AI prediktif (klasik):
- Input: satu prompt / perintah.
- Proses: model menghitung probabilitas dan menghasilkan output.
- Output: satu kali jawaban.
- Kalau salah? Kita perbaiki prompt dan ulang.
AI agent:
- Menerima mission (misalnya: “urus semua perjalanan tim ke konferensi X”).
- Memindai konteks: data apa yang sudah ada, tools apa yang tersedia, apa batasannya.
- Menyusun rencana: langkah 1, 2, 3, dst.
- Mengambil tindakan: memanggil API, membaca database, mengirim email, menulis file, dll.
- Mengamati hasilnya, lalu memutuskan langkah berikutnya.
Proses ini berjalan dalam loop Think → Act → Observe sampai misi selesai, atau sampai agent menyimpulkan bahwa ia perlu bantuan manusia.
Jadi, alih-alih kita yang memikirkan setiap langkah, kita mulai:
- memberikan arah besar,
- mendefinisikan batasan & aturan,
- lalu membiarkan agent “mengemudi” di dalam koridor itu.
Why is this shift called a “paradigm shift”?
https://www.kaggle.com/whitepaper-agents
Whitepaper tersebut menyebut pergeseran ke agent sebagai perubahan paradigma — bukan hanya upgrade fitur.
Karena di sini:
- Peran manusia bergeser
- Dari “tukang susun step by step ngeprompt”
- Menjadi “perancang tujuan, pembuat aturan main, dan lingkungan kerja agent”.
- AI tidak lagi sekadar ‘alat bantu’
- Tapi mulai bertindak sebagai rekan kerja digital yang bisa di perintah “tolong urus ini sampai tuntas sebisamu”.
- Cara kita membangun software ikut berubah
- Dulu: logic ditulis eksplisit dalam kode.
- Sekarang: sebagian logic muncul dari kombinasi model + context + tools + orchestration (otomatisasi dari perintah-perintah dengan manajemen dan koordinasi layanan dan piranti lunak yang kompleks).
- Cara kita menguji & mengawasi sistem ikut berubah
- Tidak bisa lagi mengandalkan “output harus persis sama dengan expected”.
- Kita mulai bicara soal: kualitas, keamanan, dan reliability dari sistem yang tidak 100% deterministik ( konsep di mana setiap peristiwa atau keadaan sepenuhnya ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya dan hasilnya dapat diprediksi secara pasti.)
Buat kita yang hidup di ekosistem website, produk digital, dan konten, ini bukan perubahan kecil.
Akan ada alat-alat baru, cara kerja baru, dan juga masalah-masalah baru yang perlu dipahami.
Simple Example: Regular Chatbot vs. Agent
Supaya lebih kebayang, coba kita bandingkan dua skenario:
1. Classic Customer Service Chatbot (predictive AI)
- User: “Order saya #12345 sampai mana?”
- Chatbot: cek database lewat backend yang sudah diprogram developer, lalu menampilkan status.
- Kalau user minta: “Kalau belum dikirim, tolong ubah alamat ya.”
- Sistem biasanya butuh endpoint berbeda, dan percakapan sering “putus nyambung”.
Chatbot di sini lebih mirip interface ke database. Dia menjawab, tapi tidak benar-benar mengelola proses.
2. Customer Service Agent
- User: “Tolong urus order #12345, pastikan dikirim ke alamat baru saya dan kirimkan juga email konfirmasi.”
- Agent akan:
- Think: untuk menyelesaikan ini aku perlu: cek order, cek status pengiriman, update alamat kalau masih bisa, kirim email.
- Act:
- panggil tool
find_order(12345) - kalau status masih “packed”, panggil
update_address() - panggil
send_email_konfirmasi()
- panggil tool
- Observe: cek apakah API berhasil, apakah alamat valid, apakah email terkirim.
- Lalu merangkai laporan ke user:
- “Alamat sudah diupdate, order akan dikirim ke alamat baru, ini email konfirmasinya.”
Bedanya terasa di inisiatif and tanggung jawab terhadap misi. Agent tidak hanya mem-fetch data; ia ikut mengambil keputusan and menyelesaikan rangkaian tugas.
So why is this change important to us?
Buat teman yang berkecimpung di dunia digital, pergeseran dari predictive AI ke agents punya beberapa dampak praktis:
- Jenis pekerjaan yang bisa diotomasi bertambah dalam
Bukan cuma “bantu nulis caption”, tapi bisa:- menjadwalkan,
- cek status,
- mengupdate data,
- menghubungkan beberapa sistem sekaligus.
- Lalu Kita perlu belajar memberi “misi” yang jelas, bukan sekadar prompt cantik
Di fase lama, fokus kita: prompt engineering.
Di fase agent, fokusnya:- definisi goal,
- batasan (apa yang boleh / tidak boleh),
- and desain alur kerja.
- Resiko juga ikut naik
Agent yang bisa mengirim email, mengedit database, atau melakukan pembelian jelas lebih berbahaya kalau salah konfigurasi.
Makanya di whitepaper yang sama, bagian setelah ini langsung masuk ke diskusi soal security, governance, dan agent ops — hal-hal yang akan kita bahas di tulisan lanjutan. - Cara kita belajar teknologi perlu lebih pelan dan reflektif
Karena yang berubah bukan cuma “fitur baru”, tapi cara berpikir tentang software dan otomatisasi.
Isn't All This Development Going Too Far?
Di tengah semua hype tentang agent, wajar kalau muncul beberapa rasa tidak nyaman:
- “Kalau mesin bisa mengurus banyak hal sendiri, peran manusia di mana?”
- “Gimana kalau agent salah ambil keputusan, salah kirim email, salah menghapus data?”
- “Apakah kita benar-benar siap menyerahkan banyak keputusan ke sistem yang sifatnya probabilistik (sesuatu yang berhubungan dengan probabilitas atau kemungkinan, di mana suatu hasil tidak pasti tetapi bisa diperkirakan berdasarkan peluang)?”
Whitepaper ini sendiri sebenarnya tidak menjual mimpi tanpa batas; mereka mengakui bahwa:
- agent masih terbatas oleh model, tools, dan desain yang kita buat,
- membangun prototipe memang mudah, tapi membuatnya reliable, aman, dan siap produksi adalah tantangan besar,
- dan peran manusia tetap penting sebagai perancang, pengawas, dan pemberi feedback.
Bagi saya pribadi, justru di titik ini kita perlu:
- belajar memahami konsepnya,
- mengakui batasannya,
- lalu pelan-pelan memutuskan: bagian mana dari hidup dan kerja kita yang mau kita percayakan ke agent, dan bagian mana yang tetap ingin kita pegang sendiri.
Conclusion: From Commanding AI to Collaborating with AI
Dari halaman “From Predictive AI to Autonomous Agents”, ada satu hal besar yang saya garis bawahi:
Kita sedang bergerak dari dunia di mana AI hanya menjawab pertanyaan, ke dunia di mana AI bisa menjadi “rekan kerja digital” yang diberi misi, bisa punya rencana, dan bisa bertindak.
Perubahan ini:
- mengubah cara kita membangun software,
- mengubah cara kita bekerja dengan teknologi,
- dan pelan-pelan akan mengubah ekspektasi kita terhadap apa itu “aplikasi”.
Postingan ini adalah langkah pertama dari seri yang akan membahas lebih dalam soal AI agents: bagaimana mereka didefinisikan, bagaimana mereka bekerja, apa saja levelnya, dan bagaimana tantangan keamanan serta operasional di baliknya.
Karena pada akhirnya, teknologi hanyalah alat.
Cara kita memaknai and menggunakannya yang akan menentukan apakah ia menjadi beban, atau justru membantu kita hidup dan bekerja dengan lebih efisien.


