Big World: when the world feels too big for a limited body

Big World: ketika dunia terasa terlalu besar untuk tubuh yang terbatas - Ryan Pratama
Select Language

Big World: when the world feels too big for a limited body
Bicara santai tentang pemuda dengan cerebral palsy yang cuma ingin hidup secara normal


Hello, friends,

At ryanpratama.com, I often talk about websites, hosting, , and the digital ecosystem.

Tapi di luar hal teknis itu, saya juga suka berhenti sebentar dan memperhatikan cerita-cerita yang menyentuh soal manusia.

Big World adalah salah satunya film drama asal Tiongkok yang belakangan ramai di media sosial dan mulai sering muncul di berbagai media Indonesia sebagai tontonan yang “wajib banget tonton”, apalagi sejak bisa ditonton lewat platform streaming seperti Netflix.

Ini bukan teknis ala kritikus festival film. Tulisan ini lebih seperti catatan pelan: apa yang saya rasakan setelah menonton Big World, kenapa film ini begitu kenak, dan kenapa kisah seorang pemuda dengan cerebral palsy yang ingin hidup normal terasa dekat sekali dengan banyak dari kita bahkan yang fisiknya sehat-sehat saja tapi malas.

Saya tidak sedang mengajak kamu untuk “wajib nonton”, apalagi menggurui. Ini cuma dokumentasi kecil dari perjalanan batin yang film ini tawarkan.

Kalau kamu lagi butuh tontonan yang pelan, hangat, tapi juga agak menyakitkan, mungkin Big World bisa kamu pertimbangkan.


Kenapa Big World tiba-tiba ramai dibicarakan?

Big World adalah film drama keluarga asal Tiongkok yang disutradarai Yang Lina (Lina Yang), dengan Jackson Yee sebagai pemeran utama yang memerankan tokoh bernama Liu Chunhe.

Durasi film ini sekitar 2 jam 11 menit dan rilis di bioskop Tiongkok pada akhir 2024, sebelum pelan-pelan menyebar ke penonton internasional, termasuk Indonesia.

Beberapa alasan kenapa film ini ramai dibicarakan:

  • Viral di media sosial
    Banyak potongan adegan beredar yang memperlihatkan bagaimana Jackson Yee memerankan tokoh dengan cerebral palsy dengan sangat total dari gerakan tubuh, mimik wajah, sampai cara bicara yang benar-benar berubah.
  • Isu yang jarang diangkat
    Tokoh dengan disabilitas bukan dijadikan figuran atau pelengkap dramatis, tapi benar-benar ditempatkan di pusat cerita.
  • Diapresiasi festival dan penonton
    Selain laku di bioskop Tiongkok, film ini juga mendapat penghargaan seperti Audience Award di Tokyo International Film Festival dan performa box office yang cukup kuat.

Di tengah banjir film aksi dan romcom, Big World hadir sebagai cerita kecil tentang satu orang, satu keluarga, satu musim hidup.
Kecil tapi justru di situ terasa “big”-nya.


Sekilas cerita Big World

(tanpa terlalu banyak spoiler)

Tokoh utama kita, Liu Chunhe, adalah pemuda berusia sekitar 20 tahun yang hidup dengan cerebral palsy — gangguan saraf yang memengaruhi gerak, keseimbangan, dan postur tubuh.

Sejak kecil, Chunhe dibesarkan oleh neneknya, Chen Suqun, yang percaya bahwa cucunya pintar dan pantas punya hidup yang “normal”.

Sebaliknya, hubungan Chunhe dengan ibunya, Chen Lu, jauh lebih rumit: sang ibu sangat protektif, cemas soal masa depan Chunhe, dan cenderung melindungi dengan cara yang justru membuat anaknya merasa tercekik.

Chunhe punya mimpi yang kelihatannya sederhana:

  • Kuliah di universitas dan menjadi guru
  • Punya pekerjaan
  • Bisa hidup mandiri tanpa selalu dilihat dengan rasa“kasihan”

Sambil menunggu pengumuman seleksi universitas, Chunhe mencoba melamar kerja di sebuah kafe. Dari langkah kecil ini, hidupnya pelan-pelan bergeser: ia bertemu orang-orang baru, merasakan dunia di luar rumah, dan mulai mersakaan batas antara “dilindungi” dan “dipercaya”.

Film ini mengikuti hari-hari Chunhe: naik-turun emosinya, benturan dengan ibunya, kehangatan neneknya, sampai kegugupan ketika harus bergerak di ruang publik yang jelas-jelas tidak didesain untuk tubuh seperti miliknya.

Tidak banyak adegan bombastis. Kebanyakan hanya momen kecil tapi tajam.


Cara Big World menggambarkan cerebral palsy

Salah satu kekuatan Big World adalah bagaimana film ini menggambarkan cerebral palsy secara serius, bukan sekadar gimmick untuk memancing air mata atau rasa iba.

Secara medis, cerebral palsy adalah gangguan saraf yang memengaruhi gerakan dan postur tubuh, sehingga penderitanya kesulitan mengontrol tubuh seperti orang kebanyakan.

Di film, hal ini tampak lewat detail-detail kecil:

  • Chunhe berjalan tersendat dengan kaki yang kaku
  • Tangannya kadang bergetar atau tidak sinkron dengan keinginan
  • Cara ia menapaki tangga, duduk, atau sekadar mengambil barang terasa penuh upaya
  • Tatapan orang-orang di sekitarnya: antara iba, tidak nyaman, bingung, atau pura-pura tidak melihat

Yang bikin kenak banget, film ini tidak berhenti di permukaan fisik.
Big World mengajak kita masuk ke dalam kepala Chunhe:

  • Malunya ketika tubuh tidak bisa mengikuti keinginan
  • Frustrasi saat hidupnya diputuskan orang lain “demi kebaikan”
  • Rasa bersalah karena merasa menjadi beban bagi nenek dan ibunya

Sebagai penonton, kita jadi diingatkan bahwa disabilitas bukan cuma soal tubuh yang berbeda, tapi juga soal bagaimana dunia memperlakukan tubuh tersebut.


Jackson Yee dan totalitas menjadi Liu Chunhe

Salah satu alasan film ini begitu ramai dibicarakan adalah akting Jackson Yee yang benar-benar “menyatu” ke dalam karakter Chunhe.

Beberapa hal yang terasa kuat:

  • Gestur tubuh yang konsisten
    Cara ia berjalan, menunduk, menahan napas, hingga cara mulutnya bergerak ketika berbicara semua terasa diolah dengan serius. Bukan sekedar akting, tapi juga jelas berbeda dari Jackson Yee yang biasa muncul di foto, wawancara, atau proyek lainnya.
  • Emosi di mata
    Ada banyak momen di mana Chunhe hanya diam, menatap, atau memaksakan senyum. Di situ mata Jackson Yee bekerja keras menampilkan campuran lega, takut, lelah, dan pasrah dalam satu tatapan yang pendek.
  • Chemistry dengan nenek dan ibu
    Hubungan dengan neneknya hangat dan lembut, sementara dengan ibunya sering kaku dan meledak tiba-tiba. Dinamika tiga pemain utama ini membuat konflik keluarga terasa sangat nyata.

Kalau kamu tertarik dengan akting yang menyatu banget, Big World adalah salah satu film yang layak diperhatikan.


Keluarga, protektif, dan luka yang tidak kelihatan

Di permukaan, Big World terlihat seperti film tentang pemuda dengan disabilitas yang ingin kuliah dan bekerja.

Tapi semakin lama ditonton, terasa jelas bahwa ini adalah film tentang keluarga tentang bagaimana cinta bisa berubah wujud jadi kontrol, dan bagaimana proteksi bisa meninggalkan luka.

Kita melihat beberapa dinamika yang sangat familiar di banyak keluarga Asia:

  • Nenek: mewakili cinta & percaya. Ia melihat potensi dalam diri Chunhe dan berani melepas, meski hatinya cemas.
  • Ibu: mewakili cinta dengan rasa takut. Ia begitu takut anaknya terluka sampai akhirnya tidak sadar menjadi tembok yang menghalangi setiap percobaan dan risiko.

Sering kali, kalimat yang terdengar adalah:

“Ini demi kebaikanmu.”

Tapi yang anak rasakan justru:

“Kamu tidak percaya aku bisa.”

Film ini tidak menunjuk siapa yang benar dan siapa yang salah.

Yang diperlihatkan adalah betapa menyakitkannya melihat anak bergulat setiap hari, dan betapa menyakitkannya menjadi anak yang selalu dianggap kurang mampu.

Di tengah-tengah mereka, ada sosok nenek yang pelan-pelan menjadi jembatan.


Harapan, kemandirian, dan mimpi yang tidak dibatalkan

Hal yang saya suka dari Big World: film ini tidak menjadikan Chunhe sebagai “pahlawan super” yang selalu kuat dan positif.

Ia tetap manusia biasa:

  • bisa marah,
  • bisa keras kepala,
  • bisa ingin menyerah,
  • bisa salah mengambil keputusan.

Namun, film ini pelan-pelan menunjukkan bahwa:

  • Mimpi tidak harus dibatalkan hanya karena bentuk tubuh berbeda.
  • “Normal” bukan berarti sama dengan orang lain, tapi mampu memilih jalan sendiri sejauh mungkin yang kita bisa.
  • Dukungan keluarga dan lingkungan bisa mengubah arah hidup penyandang disabilitas — entah membuat dunianya makin sempit, atau justru makin luas.

Perjuangan Chunhe untuk kuliah, bekerja di kafe, dan berdiri di panggung bukan soal mengejar piala atau pengakuan dari orang lain.


Itu lebih ke usaha untuk membuktikan pada dirinya sendiri:

“Aku juga berhak mencoba.”


Hal yang saya suka, dan yang mungkin bikin kamu lelah

Supaya adil, saya rangkum sedikit plus–minus film ini dari sudut pandang penonton baru.

Yang saya suka:

  • Akting utama yang kuat
    Jackson Yee dan para pemeran pendukung benar-benar menghidupkan keluarga kecil ini.
  • Penggambaran disabilitas yang manusiawi
    Chunhe tidak dijadikan objek kasihan . Ia punya opini, keinginan, ego, dan kesalahan sendiri.
  • Sinematografi dan musik
    Penggunaan gambar dan warna cenderung lembut, dengan musik yang pelan tapi efektif menopang emosi tanpa terasa berlebihan.
  • Tema keluarga yang dalam
    Kalau kamu punya hubungan rumit dengan orang tua atau pernah merasa “tidak dipercaya”, film ini bisa terasa sangat dekat.

Yang mungkin bikin kamu lelah:

  • Tempo yang pelan
    Ini bukan film penuh twist. Banyak adegan keseharian yang berjalan lambat, dan buat sebagian orang akan terasa “kok gini-gini aja?”.
  • Emosi yang berat
    Kalau kamu lagi tidak stabil secara emosional, beberapa adegan konflik ibu & anak bisa cukup mengena.
  • Tidak semua pertanyaan dijawab
    Seperti banyak film Big World lebih fokus pada proses daripada memberi solusi dari setiap masalah.

Untuk siapa film ini cocok?

Menurut saya, Big World cocok untuk kamu yang:

  • Suka film drama keluarga yang pelan tapi penuh detail kecil
  • Penasaran dengan representasi disabilitas yang realistis dan empatik
  • Lagi berada di fase hidup di mana kamu merasa “berbeda”, “ketinggalan”, atau “tidak ideal” dibanding standar orang lain
  • Ingin menonton akting yang niat, bukan sekadar mengandalkan dialog.

Kalau kamu lagi cari film yang sangat ringan, penuh komedi, atau murni pelarian dari dunia nyata, mungkin kamu perlu menyiapkan mood dulu sebelum menontonnya.


Conclusion

Buat saya, Big World adalah film tentang bagaimana seseorang yang dianggap kecil dan terbatas mencoba menegosiasikan tempatnya di dunia yang terasa terlalu besar.

Dunia tidak tiba-tiba menjadi ramah.
Tapi pelan-pelan, Chunhe menemukan satu sudut di mana ia bisa berdiri, meski dengan langkah yang terseok-seok.

Film ini mengingatkan bahwa:

  • Disabilitas bukan akhir, tapi bentuk lain dari perjalanan hidup
  • Keluarga bisa menjadi pelindung sekaligus penjara dan butuh keberanian dari kedua sisi untuk berubah
  • Harapan tidak selalu hadir dalam bentuk kemenangan besar, tetapi kadang dalam keberanian untuk mencoba sekali lagi

Ini bukan ajakan supaya semua orang menyukai film ini, atau supaya kita melihat orang dengan disabilitas sebagai “inspirasi berjalan” yang harus selalu kuat.

Justru sebaliknya:
Big World mengajak kita melihat mereka sebagai manusia biasa dengan hak yang sama untuk lelah, marah, gagal, dan bermimpi.

Karena pada akhirnya, tubuh kita boleh beda-beda, tapi rasa ingin dianggap mampu dan layak dipercaya itu hampir selalu sama.

Previous Article

One Punch Man Season 3: When High Expectations Meet “Lackluster” Animation”

Next Article

When Photo Editor AI is Misused: From Fun to Serious Problems

Write a Comment

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *