Catatan santai tentang kecemasan kecil saya Ketika Tak Ada Lagi Generasi yang Mau Membaca, Hanya Menikmati Video Pendek di era ketika banyak orang makin betah di konten 15 detik, tapi makin enggan duduk tenang membaca 5–10 menit saja.
Halo semua,
At ryanpratama.com, I often talk about websites, hosting, design, and the digital ecosystem.
Kali ini, saya ingin cerita soal hal yang sedikit lebih pelan keresahan ketika pelan-pelan tidak ada lagi generasi yang benar-benar mau membaca, hanya ingin menikmati video pendek yang cepat, lucu, dan langsung selesai.
Table of Contents
Saat Membaca Mulai Tergeser oleh Scroll Tanpa Henti
Mungkin teman juga merasakannya.
Dulu, kita masih sering lihat orang bawa book di tas, baca artikel panjang di laptop, atau bahkan menikmati tulisan panjang di forum kaskus.
Sekarang, banyak orang bangun tidur langsung buka TikTok, Reels, atau Shorts.
Semua dibuat singkat, menarik, dan “langsung ke poin” — bahkan kadang tanpa benar-benar ada poin.
Bukan berarti video pendek itu jelek. Saya juga menonton. Kadang jadi hiburan setelah kerja, kadang jadi sumber ide desain atau referensi. Tapi keresahan mulai muncul ketika:
- Caption yang sedikit panjang sudah dibilang: “Kepanjangan, mager baca.”
- Artikel 1.000 kata dianggap “berat”, padahal isinya hanya cerita santai.
- Orang lebih percaya potongan video 30 detik daripada tulisan panjang yang pelan-pelan menjelaskan konteks.
Tulisan ini bukan ajakan untuk membenci video pendek, bukan juga nostalgia yang menganggap masa lalu selalu lebih baik. Ini lebih ke catatan perjalanan berpikir apa yang terjadi kalau nanti benar-benar tidak ada generasi yang mau membaca?
Kenapa Konten Video Pendek Begitu Menggoda pengguna sosial media?
Sebelum ngomel ke fenomenanya, saya juga perlu jujur algoritma dan format video pendek memang sangat dirancang untuk bikin kita betah diam dan ngescroll.
Beberapa hal yang bikin konten pendek begitu menggoda:
- Cepat dan instan
Dalam 10–15 detik kita sudah bisa ketawa, terhibur, atau merasa “dapat insight”. Rasanya produktif, padahal kadang cuma dapat potongan-potongan ide. - Tidak perlu usaha besar
Nonton video tinggal scroll. Baca butuh fokus: mata mengikuti baris, otak mencerna kalimat, bahkan harus berhenti sebentar untuk mikir apa ya maksutnya yang saya baca tadi. - Dirancang untuk bikin kecanduan
Begitu selesai satu video, langsung muncul video berikutnya. Kita jarang disuruh berhenti. Tidak ada tanda “cukup”. Yang ada hanya: “lagi”. - Konten dikemas sangat emosional
Bikin marah, bangga, takut, baper, semua dibungkus cepat. Emosi yang diaduk cepat seperti ini bikin kita merasa “hidup”, padahal kadang cuma bikin lelah.
Masalahnya bukan di formatnya saja, tapi di cara kita pelan-pelan dibiasakan: kalau tidak menarik dalam 3 detik, ya di-skip. Kalau tidak heboh, ya swipe lagi.
Apa yang Hilang Ketika Kita Tidak Lagi Mau Membaca?
Membaca dan menonton video itu dua aktivitas yang berbeda. Bukan soal mana yang lebih “keren”, tapi soal apa yang dilatih.
Ketika kita berhenti membaca dan hanya mengandalkan video pendek:
- Daya tahan fokus makin pendek
Baca 3 paragraf saja sudah gelisah. Kita ingin ada sesuatu yang bergerak, musik, teks besar, efek transisi. Otak jadi terbiasa dengan stimulasi tinggi, bukan dengan stimulasi pelan. - Kemampuan mencerna konteks melemah
Video pendek sering menghapus konteks demi dramatisasi. Tanpa kebiasaan membaca, kita gampang terjebak kesimpulan cepat:- “Oh berarti semua seperti ini.”
- “Oh berarti dia salah, yang itu benar.”
Padahal realita jarang sesederhana itu.
- Nuansa dan kedalaman hilang
Banyak hal di dunia ini tidak bisa dijelaskan dalam 30 detik. Hubungan manusia, politik, etika, teknologi, atau sekadar cerita hidup — semua butuh ruang. - Bahasa jadi miskin
Saat hanya mengkonsumsi teks pendek dan lisan cepat, kosakata kita berhenti berkembang. Padahal cara kita memilih kata sangat berpengaruh ke cara kita berpikir.
Membaca itu melatih kita untuk:
- Duduk sebentar, memberi waktu ke satu hal.
- Mengikuti alur, bukan hanya potongan.
- Menerima bahwa tidak semua hal bisa dipahami secepat scroll.
Membaca Bukan Lawan dari Video Pendek
Saya tidak ingin menempatkan membaca dan video pendek sebagai dua kubu yang saling bermusuhan.
Masalahnya bukan:
“Apakah kamu tim buku atau tim konten 15 detik?”
Yang lebih releva:
“Apakah kita masih punya ruang di hidup kita untuk hal yang butuh lebih dari 15 detik?”
Video pendek bisa bermanfaat:
- Untuk teaser di depan video: kenalan dulu, nanti lanjut baca atau cari referensi lain.
- Untuk visualisasi cepat: promo produk, showreel desain, proses editing.
- Untuk hiburan singkat: jeda di antara kerja.
Tapi kalau semua hal harus jadi video pendek:
- Diskusi hanya berputar di permukaan.
- Orang makin malas mengecek sumber.
- Kita gampang terbawa opini paling keras, bukan argumen paling kuat.
Mungkin kuncinya bukan membuang video pendek, tapi tidak berhenti di situ saja.
Kenapa Masih Menulis di Saat Orang Lebih Suka Menonton?
Saya kadang juga bertanya ke diri sendiri:
“Ngapain masih nulis panjang di ryanpratama.com kalau sebagian orang bahkan malas baca caption lebih dari 2 baris?”
My honest answer:
- Karena tidak semua hal bisa saya jelaskan cuma lewat video 10 detik.
Ada banyak keresahan, catatan, dan detail teknis yang butuh paragraf, bukan hanya overlay text. - Karena menulis membantu saya berpikir.
Saat menulis, saya dipaksa menyusun ulang isi kepala:- Apa poin utamanya?
- Kenapa saya resah?
- Apakah ini hanya emosi sesaat atau memang pola yang saya lihat berulang?
- Karena masih ada orang yang mau membaca.
Mungkin jumlahnya tidak sebanyak penonton video viral, tapi itu tidak apa-apa. Tidak semua yang punya nilai harus viral.
Dan mungkin di masa depan, tulisan-tulisan panjang yang kita tinggalkan hari ini akan jadi “fosil digital” yang membantu orang memahami bagaimana cara kita berpikir di era ini.
Bagaimana Menjaga Kebiasaan Membaca di Dunia 15 Detik?
Kalau teman merasa pelan-pelan makin sulit fokus baca, itu wajar.
Otak kita sedang dibiasakan oleh lingkungan digital yang serba cepat. Tapi bukan berarti tidak bisa dilatih lagi.
Beberapa hal yang bisa dicoba secara realistis:
- Mulai dari yang pendek, tapi utuh
Tidak harus langsung buku 300 halaman. Bisa mulai dari:- Artikel 3–5 menit baca.
- Esai pendek yang selesai dalam satu duduk.
- Sengaja matikan autoplay dan notifikasi atau mode jangan ganggu
Bukan karena sok produktif, tapi agar otak tidak selalu dialihkan. Baca 10 menit tanpa gangguan itu sudah prestasi di era sekarang. - Baca hal yang benar-benar menarik buatmu dulu
Jangan memaksa baca buku “berat” hanya karena sedang trend. Minat asli kita adalah pintu masuk paling kuat: desain, teknologi, cerita hidup, apa pun atau yang ringan ringan seperti cerpen. - Gabungkan dengan video jika perlu
For example:- Nonton video pengantar sebuah ide.
- Lalu cari tulisan panjang yang membahas hal yang sama.
Ini membuat otak terbiasa: “Oh, ternyata di balik video 15 detik ini ada penjelasan yang lebih lengkap.”
- Buat ritual kecil
For example:- 10 menit baca sebelum tidur.
- 1 artikel saat pagi sambil kopi.
- 1 tulisan panjang setiap akhir pekan.
Kuncinya bukan jadi “pembaca sempurna”, tapi punya ruang kecil di hidup kita yang tidak dikontrol algoritma swipe.
Kalau Nanti Benar-Benar Tak Ada Lagi yang Mau Membaca?
Kadang saya suka berandai-andai agak ekstrem.
Bagaimana kalau nanti benar-benar ada generasi yang tidak mau membaca sama sekali?
Semua belajar dari video, semua informasi dikemas jadi visual bergerak, tidak ada lagi teks selain judul dan caption super pendek.
Beberapa hal yang mungkin terjadi:
- Pengetahuan jadi makin dangkal dan terpusat
Yang menguasai narasi video akan menguasai cara orang berpikir. Tanpa kebiasaan membaca, orang akan kesulitan membongkar narasi itu dengan pelan-pelan. - Ruang kontemplasi menyempit
Membaca memberi kita momen jeda. Saat menatap teks, kita tidak hanya melihat, tapi juga mengisi sendiri bayangan di kepala. Video cenderung “mengisi penuh” ruang itu. - Cerita-cerita kecil menghilang
Tidak semua cerita cocok divisualkan. Banyak kisah hidup, renungan, atau detail pengalaman yang lebih kuat dalam bentuk tulisan.
Jika tidak ada yang mau baca, cerita-cerita ini mungkin tidak akan pernah lahir.
Tapi di sisi lain, saya juga percaya selalu akan ada minoritas yang justru menikmati yang pelan ketika mayoritas berlari.
Selalu ada orang yang diam di perpustakaan ketika mal penuh. Selalu ada yang menulis panjang ketika semua orang sibuk bikin konten pendek.
Mungkin nanti membaca akan jadi “hobi langka”, tapi bukan berarti hilang.
Apa yang Bisa Kita Lakukan Secara Realistis?
Kita bukan pembuat kebijakan, bukan juga pemilik platform besar. Tapi sebagai individu, kita masih punya sedikit kuasa:
- Tidak ikut-ikutan meremehkan membaca
Jangan langsung bilang, “Aduh kepanjangan, males.”
Kalau memang belum sempat, jujur saja: “Nanti saya baca pelan-pelan.” - Menghargai orang yang masih mau menulis panjang
Entah itu teman, penulis, atau kreator yang memilih jalur pelan. Kita bisa:- Baca sampai habis kalau mampu.
- Kasih komentar yang benar-benar nyambung.
- Share dengan konteks, bukan hanya: “Baca deh.”
- Menjadi contoh kecil di lingkungan sendiri
Di keluarga, di kantor, di komunitas. Tidak perlu ceramah, cukup dengan kebiasaan:- Bawa buku atau baca artikel saat menunggu.
- Tunjukkan bahwa membaca masih bisa dinikmati, bukan hanya tugas sekolah.
- Mencampur format
Kalau teman juga membuat konten:- Boleh tetap bikin video pendek.
- Tapi sesekali ajak orang mampir ke tulisan yang lebih panjang, seperti ini.
Conclusion
Keresahan tentang “generasi yang tidak mau membaca” mungkin terdengar klise, tapi tetap terasa relevan ketika kita sendiri mulai sulit bertahan membaca tulisan di atas 1.000 kata.
Video pendek bukan musuh. Ia hanya format, yang jadi persoalan adalah ketika hidup kita hanya disusun dari potongan 15 detik, tanpa pernah memberi kesempatan pada hal-hal yang butuh waktu lebih lama untuk dimengerti.
Membaca memberi ruang pada kita untuk:
- Berpikir lebih pelan.
- Menerima bahwa tidak semua hal sederhana.
- Menyusun ulang cara kita melihat dunia.
Tulisan ini bukan ajakan untuk meninggalkan video dan kembali ke buku fisik saja. Ini lebih ke ajakan kecil untuk menjaga satu kebiasaan, tetap punya waktu, walau sedikit, untuk membaca sesuatu yang butuh lebih dari beberapa detik.
Sumber:
Gambar Utama : https://unsplash.com/illustrations/a-person-sitting-on-the-ground-holding-a-large-sheet-of-paper-9bxV4M0vq_g



