Ketika Media Sosial Terlalu Berisik, Saya Justru Kembali Menulis

Ketika Media Sosial Terlalu Berisik, Saya Justru Kembali Menulis - Ryan Pratama
Select Language:

Tentang mencari ruang sunyi di tengah dunia yang semakin memaksa kita terus terlihat dan Ketika Media Sosial Terlalu Berisik, Saya Justru Kembali Menulis

Hello, friends,
At ryanpratama.com, I often talk about websites, hosting, , and the digital ecosystem.

Tapi hari ini saya ingin bicara tentang sesuatu yang lebih pelan: keputusan untuk kembali menulis di tengah media sosial yang makin ramai, makin cepat, dan makin menuntut manusia untuk melihatnya.

Mungkin dengan tulisan ini bisa mengurangi screentime saya untuk membuka sosial media, saya merasa hidup saya sudah di kontrol sosial media.

Bukan karena saya membenci sosial media.
Bukan karena saya ingin lari dari dunia digital.
I just...

butuh memutar arah.

Ada masa dimana suara-suara di luar terlalu keras, dan suara sendiri mulai tenggelam dan terlupkan.

Dan tulisan ini adalah cara saya mengingatkan diri saya bahwa kadang, sunyi justru lebih jujur dari pada keramaian.


Ketika Media Sosial Tidak Lagi Menjadi Ruang untuk Bicara

Media sosial dulu terasa menyenangkan.

Teman-teman update, ide muncul spontan, kita berbagi hal-hal kecil tanpa beban.

Tapi lama kelamaan, semuanya berubah pelan-pelan.

Feed dipenuhi tuntutan:

  • untuk selalu tampil menarik,
  • untuk punya opini cepat tentang semua hal,
  • untuk ikut yang bergerak tanpa henti,
  • untuk terlihat sibuk, sukses, produktif, atau minimal “tetap relevan”.

Dan di antara itu semua, saya merasa kehilangan ruang untuk bernapas.

Bukan karena orang lain salah.

Tapi karena saya sendiri yang mulai merasa tidak lagi cocok dengan ritme yang memaksa “harus tampil”, tanpa berfikir dan hanya “ingin bercerita”.


Kebisingan yang Tidak Selalu Terdengar

Yang membuat lelah bukan jumlah kontennya.
Bukan algoritma.
Bukan engagement.

Yang membuat lelah adalah kebisingan yang tidak terlihat, seperti:

  • perbandingan yang muncul tanpa diundang
  • tekanan halus untuk terlihat sempurna
  • rasa harus ikut bersuara, padahal dalam hati masih bingung
  • kebutuhan untuk “ada” di timeline agar tidak dianggap hilang
  • kecemasan kecil setiap kali posting tidak perform

Semua itu seperti suara-suara lembut yang terus berbisik di belakang kepala.
Tidak menyakitkan.
Tidak membahayakan.
Tapi menguras energi diam-diam.

Dan saya mulai bertanya pada diri sendiri:

“Kapan terakhir kali saya benar-benar berbicara, bukan sekadar muncul?”


Menulis Ruang yang Tidak Menilai

Di tengah semua kebisingan itu, saya kembali menemukan hal yang dulu pernah saya tinggalkan: tulisan.

Menulis tidak memaksa saya untuk:

  • terlihat menarik
  • menjawab cepat
  • mengikuti tren
  • memikirkan like atau komentar
  • membandingkan diri dengan pencapaian orang lain

Menulis tidak menilai saya.

Menulis hanya meminta saya untuk jujur.
Untuk mengambil waktu.
Untuk pelan-pelan mengurai apa yang sebenarnya saya rasakan.

Dan saya lupa betapa berharganya itu.


Memutar Arah Dari Keramaian ke Keheningan

Bukan berarti saya meninggalkan media sosial.
No.
Saya masih di sana.
Saya masih perlu bekerja di dunia digital.
Saya masih berkomunikasi, berbagi, dan membangun.

Tapi saya tidak lagi menjadikannya ruang untuk memahami diri sendiri.

Untuk itu, saya memutar arah.
Saya kembali ke tulisan rumah lama yang sempat saya biarkan kosong.

Saya ingin punya tempat di mana saya bisa:

  • jujur tanpa tekanan
  • bercerita tanpa harus visual-perfect
  • merenung tanpa harus cepat
  • menulis tanpa algoritma ikut campur
  • membangun sesuatu tanpa takut hilang di timeline

Tulisan memberi saya kendali atas ritme yang di bangun di sosial media.
Memberi saya ruang sunyi yang tidak tersentuh keharusan tampil.


Saat Kata-Kata Justru Menenangkan

Ada banyak hal yang tidak bisa saya ungkapkan dalam posting 15 detik atau caption singkat.
Ada keresahan yang butuh lebih dari beberapa emoji dan reaksi.
Ada pikiran yang hanya bisa dibereskan melalui paragraf demi paragraf.

Menulis membuat saya:

  • lebih pelan
  • lebih sadar
  • lebih menjadi manusia

Dan saya rasa banyak dari kita merasakan hal yang sama.
Bahwa dunia yang terlalu cepat ini membuat kita lupa akan diri sendiri dan berhenti.


Memilih Menulis Adalah Memilih Kembali Pada Diri Sendiri

Pada akhirnya, kembali menulis adalah pilihan untuk merawat diri saya.

Saya tidak ingin berlomba dengan kecepatan internet.
Saya tidak mau hidup hanya berdasarkan ritme yang ditentukan algoritma.
Saya ingin punya ruang yang tetap milik saya, meskipun dunia luar berubah secepat resolusi video di ponsel.

Menulis memberikan itu.

Sebuah ruang yang sunyi.
Ruang yang tidak menuntut.
Ruang yang membuat saya kembali utuh.


Conclusion

Keputusan memutar arah ini bukan keputusan besar.
Tidak dramatis.
Tidak heroik.

Saya hanya merasa bahwa media sosial mulai terlalu berisik untuk dijadikan tempat memahami diri sendiri.


Dan tulisan sesuatu yang saya tinggalkan bertahun-tahun ternyata masih setia menunggu ketika saya kembali.

Menulis membuat saya lebih utuh.
Lebih hadir.
Lebih mengenal diri sendiri.

Karena pada akhirnya, semua orang butuh ruang yang tidak bergantung pada perhatian orang lain.


Dan bagi saya, ruang itu adalah tulisan.

Source

Gambar Utama : https://unsplash.com/illustrations/a-person-typing-on-an-old-fashioned-typewriter-rKnxDCOxWIY

Previous Article

Sambang Cafe & Eatery

Write a Comment

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *