Big World: when the world feels too big for a limited body
Big World: when the world feels too big for a limited body. A casual conversation about a young man with cerebral palsy who just wants to live...
Sebuah obrolan tentang hype, kekecewaan, dan bagaimana visual bisa mengubah rasa sebuah cerita dalam anime One Punch Man Season 3
Hello, friends,
Di ryanpratama.com, saya cukup sering ngobrol soal website, teknologi, dan hal-hal pop culture yang nyangkut di kepala. Kadang saya menemui karya yang sebenarnya saya tunggu-tunggu, tetapi saat muncul justru meninggalkan luka di mata saya.
One Punch Man Season 3 salah satunya.
Dan tulisan ini bukan untuk menjatuhkan karya orang, bukan untuk mengajak membenci sebuah studio. Hanya sekadar merangkum rasa bingung dan kecewa yang muncul setelah menontonnya. Jujur saya baru nonton episode 3 di season ini padahal ini salah satu anime yang saya tunggu-tunggu. waktu postingan ini di upload mungkin hypenya sudah turun tapi tidak apa-apa karena saya tidak mencari trafik murni opini pribadi saya
Table of Contents
Saya rasa semua penggemar One Punch Man sepakat bahwa seri ini punya standar visual yang… tidak main-main jeleknya.
Sebagian diam karena bingung awalnya.
Sebagian lagi karena tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Saya datang dengan harapan pertarungan yang meledak-ledak, gerakan halus, kamera yang hidup. Namun yang terlihat justru sesuatu yang terasa… hambar. apa karena sebelumnya ada anime dengan grafik keren ya seperti Frieren, nampaknya tidak jugaaa

Saat menonton, saya sempat beberapa kali mengerutkan dahi. Gerakan kamera yang statis, adegan aksi yang seperti potongan gambar bergeser (ini beneran cuma gambar yang digesek kalau ingat garau turun dari bukit), ekspresi wajah yang tidak berubah—semuanya membuat episode terasa seperti:
Beberapa frame bahkan terlihat seperti menggunakan trik yang biasanya dipakai ketika studio yang sudah kehabisan waktu produksi padahal saya tunggu cukup lama sekali.
Saya tidak berharap setiap scene harus sekelas Season 1, tapi tetap ada jarak besar antara “turun kualitas” dan “hampir tidak ada gerakan”.
Karena One Punch Man adalah anime yang bertumpu pada dinamika pertarungan yang berkelas.
Ketika animasinya kehilangan “napas”, seluruh fondasi itu ikut runtuh.
Komedi jadi tidak nendang.
Aksi jadi tidak terhubung dengan emosi.
Dan karakter yang biasanya terasa hidup, jadi terasa dingin dan kaku.
Di komik, arc ini penuh tensi.

Garou.
Hero Association.
Monster yang makin kekacauan.
Tekanan yang meningkat dari bab ke bab.
Di anime, emosi itu hilang karena gerakan visual tidak mendukung cerita.
Alurnya penting, tapi kalau mata tidak ikut “tertarik”, tensi drama ikut turun.

Yang membuat banyak orang merasa “kureng” adalah jarak antara:
apa yang dijanjikan One Punch Man sejak dulu vs apa yang akhirnya ditampilkan di Season 3
Dan jarak itu terlalu besar.
Tapi bukan berarti saya harus membenci karya ini. Kadang, produksi yang kurang maksimal bukan karena tidak niat, tapi karena keadaan yang tidak mendukung.
Pada akhirnya, saya hanya bisa mungkin melanjutkan menonton sambil berharap semoga episode ke depan—atau mungkin season berikutnya—bisa kembali menemukan energinya.
Karena One Punch Man pantas mendapatkan itu.