Semua Orang Bisa Jadi Apa Pun (Katanya), Tanpa Jadi Pakar.

Ryan Pratama Desain, Web, dan Cerita di Balik Layar

Benarkah? – Perspektif dari Buku Matinya Kepakaran Karya Tom Nichols dimana Semua Orang Bisa Jadi Apa Pun

Halo teman,

Di era internet, TikTok, AI, dan komentar publik yang nggak ada ujungnya, kita sering lihat fenomena ini di kolom komentar, walaupun kebanyakan sekarang bazer:

  • semua orang merasa bisa jadi dokter “modal Googling 5 menit”
  • semua orang merasa bisa jadi ahli politik gara-gara nonton 1 video
  • semua orang merasa lebih tahu dari ahli yang kuliah belasan tahun
  • semua orang merasa setara dengan pakar di bidang apa pun

Fenomena inilah yang dibahas Tom Nichols dalam bukunya “Matinya Kepakaran (The Death of Expertise)”.

Dan jujur, setelah saya baca sedikit, ini bukan cuma kritik sosial—ini cermin besar untuk zaman kita sekarang.


Internet Membuat Semua Orang Merasa Ahli (Walau Tidak Ahli)

Tom Nichols bilang:

Internet bukan bikin orang lebih pintar.
Internet bikin orang lebih yakin bahwa mereka sudah pintar, walaupun sebenarnya nggak.

Masalahnya bukan kurangnya informasi—justru kebanyakan informasi.
Karena semua orang dapat akses:

  • artikel
  • opini
  • thread
  • video edukasi
  • AI assistant
  • dan komentar tidak terbatas

Orang jadi merasa:

“Kalau saya bisa cari di Google, berarti saya ngerti.”

Padahal:

  • mencari ≠ memahami
  • memahami ≠ menguasai
  • menguasai ≠ menjadi pakar

Tapi batas itu makin kabur. Terkadang terlalu banyak informasi malah bikin pusing bukannya mendapat jawaban tapi datang pertanyaan baru


Era “Semua Orang Benar”, Pakar Jadi Tidak Relevan

Nichols menyebutkan sesuatu yang cukup pedas tapi jujur:

Kita hidup di zaman ketika pakar dianggap mengganggu ego orang awam.

Contohnya:

  • dokter memberi saran medis → dibantah “katanya di YouTube justru begini…”
  • ahli ekonomi memberi prediksi → orang lebih percaya influencer yang ngomong hal-hal bombastis kek infuencer kripto itu tuh
  • ilmuwan bicara data → dikalahkan komentar orang yang “merasa pengalaman pribadi lebih valid” padahal valid untuk dirinya sendiri

Kita masuk era anti-intellectualism, di mana pendapat:

  • profesor
  • peneliti
  • ilmuwan
  • ahli
  • akademisi

…diposisikan setara dengan pendapat:

  • random netizen
  • komentator anonim
  • influencer tanpa pendidikan
  • orang yang baru baca 1 thread

Nichols menyebut ini berbahaya.


Demokratisasi Informasi = Bagus

Demokratisasi Kepakaran = Bahaya

Sebuah poin yang sangat penting:

Informasi harus demokratis.
Kepakaran tidak.

Internet membuat informasi mudah diakses oleh siapa pun. Itu bagus.

Tapi yang jadi masalah:

  • orang salah paham
  • tapi tetap yakin
  • dan merasa pendapatnya sudah sesuai sama dengan pakar

Contoh ekstrim:

  • “Saya baca blog, jadi saya tahu cara mengobati penyakit ini lebih baik dari dokter.”
  • “Ahli klimatologi salah, karena saya merasa cuaca sekarang bagus-bagus saja.”
  • “Sejarah bisa saya nilai ulang sendiri, nggak perlu baca penelitian.”

Ini yang disebut matinya kepakaran.

Bukan pakarnya mati.
Tapi lebih ke rasa hormat terhadap kepakaran yang mati.


Media Sosial Mendorong Semua Orang Menjadi Guru Segala Hal

Menurut Nichols, media sosial bikin kita hidup dalam dunia yang:

  • reward terbesar datang dari percaya diri, bukan kompetensi
  • orang dengan opini paling keras -> paling viral
  • orang paling meyakinkan -> paling dianggap benar
  • orang paling sensasional -> paling dipercaya

Sementara orang yang:

  • hati-hati
  • pakai data
  • menjelaskan dengan nuansa

…sering kalah karena dianggap “ribet” atau “kurang entertaining”.

Akhirnya:

  • edukasi digantikan konten
  • fakta digantikan rasa percaya diri
  • kepakaran digantikan popularitas

Dan ini terjadi hampir di semua bidang tanpa terkecuali.


AI Membantu Mempercepat Matinya Kepakaran

Ini relevan banget dengan zaman sekarang.

Dengan AI seperti:

  • ChatGPT
  • Gemini
  • DeepSeek
  • Qwen
  • platform AI lokal

Orang makin merasa:

“Saya bisa menjawab apa saja. Buat apa pakar?”

Padahal:

  • AI memberi jawaban, bukan pemahaman
  • AI bantu nulis, bukan berpikir kritis
  • AI mempercepat proses, bukan memberi kedalaman

AI bikin semua orang terlihat pintar.
Tapi tidak otomatis membuat orang menjadi pintar.

Ini poin besar yang Nichols sendiri prediksi sebelum era AI meledak.


Dampak Sosial: Dari Diskusi Jadi Perang Ego

Ketika semua orang merasa menjadi ahli:

  • debat jadi toxic
  • diskusi berubah jadi adu siapa yang paling keras
  • data kalah oleh perasaan
  • fakta kalah oleh opini
  • bukti kalah oleh “menurut saya”
  • yang paling eksrim agama dan tuhan jadi tameng

Nichols bilang:

Dunia modern mendorong orang untuk merasa benar, bukan untuk mencari kebenaran.

Dan itu masalah besar dalam:

  • politik
  • kesehatan
  • pendidikan
  • sains
  • bahkan percakapan sehari-hari

Lalu… Solusinya Apa?

Menurut saya Nichols tidak bilang “orang awam harus diam”.
Yang dia maksud:

  1. Kita harus tahu batas pengetahuan kita.
    (Know what you don’t know.)
  2. Kita harus hormat pada keahlian orang yang benar-benar belajar bertahun-tahun.
  3. Kita boleh punya pendapat, tapi bukan berarti pendapat kita setara dengan penelitian ilmiah.
  4. Mengakui bahwa kita tidak tahu sesuatu bukan kelemahan—itu kedewasaan intelektual.

Dalam kata lain:

Internet boleh membuat semua orang bicara.
Tapi tidak semua orang punya kompetensi yang sama.


Kesimpulan

Kalimat “semua orang bisa jadi apa pun tanpa jadi pakar” memang kelihatan empowering.


Tapi kalau dibawa terlalu jauh—seperti yang dijelaskan Tom Nichols—itu justru bikin dunia makin bingung.

Karena:

  • akses informasi ≠ keahlian
  • opini ≠ fakta
  • percaya diri ≠ kompetensi
  • viral ≠ benar
  • bisa ngetik di internet ≠ ahli

Kepakaran itu tidak mati.
Yang mati adalah respek terhadap kepakaran.

Dan tugas kita hari ini adalah:

  • tetap rendah hati
  • tetap belajar
  • tetap menghargai profesi orang lain
  • dan tahu kapan harus bicara, kapan harus mendengar

Supaya internet tidak sepenuhnya berubah menjadi “arena semua orang merasa paling benar”

Ryan Pratama Desain, Web, dan Cerita di Balik Layar

Kamu bisa membeli bukunya seharga Rp. 85.000 di

Beli Disini

Sumber

Gambar utama: unsplash.com/illustrations/a-man-is-reading-a-book-while-flying-through-the-air-7eBNljc6rtk

Previous Article

Review Lagu “Sampai Jadi Debu” – Banda Neira

Next Article

Menjadi Ateis: Ketika Perlahan Tak Lagi Merasa Membutuhkan Tuhan

Write a Comment

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *