Catatan santai tentang era Ketika Semua Media Sosial Sekarang Bisa Jualan berlomba menambah fitur toko, dan membuat sayabertanya-tanya apakah teknologi sudah mentok atau justru sedang mencari arah baru?
Halo teman semua,
Di ryanpratama.com, saya cukup sering ngobrol soal website, hosting, desain, dan ekosistem digital.
Akhir-akhir ini, saya perhatiin satu pola yang makin kuat dan hampir di terapkan di semua sosial media sekarang bisa dipakai buat jualan.
Bukan cuma marketplace tradisional seperti Tokopedia atau Shopee, tapi TikTok, Instagram, WhatsApp, bahkan YouTube semuanya punya “keranjang belanja” di dalamnya.
Dari satu sisi, ini mempermudah hidup banyak pelaku usaha. Tapi dari sisi lain, ada rasa aneh juga…
seolah-olah semua platfom sosmed sudah kehabisan ide lain selain “ayo jualan di sini juga”.
Tulisan ini bukan untuk menyalahkan platform sosmed mana pun, apalagi mengajak kamu membenci fitur belanja. Ini lebih kayak catatan observasi apa sebenarnya yang terjadi, dan apa artinya buat kita sebagai pengguna maupun kreator.
Daftar isi
Ketika Semua Tempat Menjadi Toko
Kalau dipikir-pikir, media sosial awalnya tempat orang berbagi cerita, bukan bertransaksi. Kita dulu upload foto, kirim status, atau sekadar update keseharian.
Tidak ada keranjang belanja di tiap sudut antarmuka.
Sekarang?
- Scroll 10 detik, ada live jualan.
- Klik foto kucing, muncul tombol beli produk grooming.
- Buka chat WhatsApp, langsung ada keranjang.
Entah kenapa, lorong-lorong digital yang dulu terasa sosial, kini berubah jadi mal raksasa tanpa pintu keluar.
Yang bikin saya mikir adalah: apakah ini benar-benar kebutuhan pengguna? Atau platform hanya mengikuti tren yang sama karena takut ketinggalan?
Bukan berarti fitur belanja itu buruk.
Banyak UMKM kebantu. tapi ini juga bisa membunuh UMKN yang tidak melek digital apalagi promosi secara online lebih mudah dilupakan dari pada promosi langsung
Tapi ketika semuanya menawarkan hal yang sama, muncul pertanyaan baru apakah teknologi sosial media sedang mandek?
Apakah Teknologi Sudah Mentok?
Ada dua kemungkinan yang sering muncul di kepala saya.
Media sosial memang sudah sulit menemukan inovasi baru
Dalam 10 tahun terakhir, inovasi besar sosial media sebenarnya cuma:
- Stories
- Short video (Reels, TikTok, Shorts)
- Live streaming
- Monetisasi kreator
Setelah itu?
Seolah-olah mereka tidak lagi menemukan hal yang benar-benar “baru”.
Maka solusinya: tambah fitur jualan. Replikasi satu sama lain. Produk sama, dikemas ulang dengan logo berbeda, lalu ai emang buat apa ada ai di sosial media ?
Perilaku manusia lebih lambat berubah dibanding teknologi
Mungkin sebenarnya bukan teknologinya yang mentok, tapi manusianya.
Platform bisa bikin fitur canggih, AI pintar, AR/VR, metaverse, apa pun. Tapi kalau pengguna tetap ingin:
- nonton video pendek,
- lihat foto,
- baca komentar lucu,
- atau belanja cepat,
ya sudah…
platform hanya mengikuti pola konsumsi paling besar.
Jadinya inovasi hanya bergerak di lingkaran yang sama bikin scroll lebih lama, bikin transaksi lebih cepat.
Ketika Semua Platform Terlihat Mirip
Jujur saja, sekarang feed saya terasa monoton.
Bukan karena kontennya jelek, tapi karena semua aplikasi rasanya punya “tujuan yang sama”: membuat kita stay lebih lama dan beli sesuatu.
Contohnya:
- TikTok → transformasi besar ke TikTok Shop.
- Instagram → berubah dari aplikasi foto jadi etalase produk.
- YouTube → Shorts + Shopping Integration.
- WhatsApp → chat sekarang jadi customer service + toko digital.
Lucunya, semakin mirip satu sama lain, semakin sulit membedakan identitas tiap platform.
Dari sudut pandang pengguna, ini melelahkan.
Dari sudut pandang kreator, ini membingungkan.
Dari sudut pandang pedagang, ini membahagiakan…
tapi tetap chaotic.
Efek Samping Semua Orang Dididik untuk Jualan
Sosial media sebenarnya mempromosikan satu mindset baru:
“Kalau punya sesuatu, jual. Kalau lagi live, jual. Kalau punya audience, jual juga.”
Bukan salah,
tapi lama-lama hubungan manusia bergeser dari sosial menjadi transaksional.
Saya pernah ngobrol dengan diri saya sendiri, dan dia bilang, “Sekarang kalau buka Instagram, kayak buka mall. Padahal saya cuma mau lihat foto teman.”
Saya ketawa, tapi ya…
benar juga.
Apa pun yang terlalu banyak, lama-lama makan jenuh juga.
Apakah Ini Tanda Teknologi Sosial Media Butuh Paradigma Baru?
Menurut saya, iya.
Platform sudah menjejali semua kemungkinan fitur:
- Chat
- Video
- Live
- Story
- Marketplace
- Ads
- Belanja dalam aplikasi
- AI recommendations
- Payment system
Sekarang tinggal satu pertanyaan besar:
Setelah semua fitur dimasukkan, lalu apa?
Mungkin tahap berikutnya bukan menambah fitur lagi.
Tapi mengembalikan esensi: bagaimana teknologi bisa membuat manusia lebih terhubung, bukan lebih dijejali produk.
Saya nggak anti jualan saya sendiri sering membantu brand. Tapi tetap ada batas ketika platform harus memilih tetap jadi sosial media, atau jadi e-commerce berkedok sosial?
Lalu ApaYang Bisa Kita Lakukan Sebagai
Saya rasa ada beberapa hal realistis yang bisa dilakukan tanpa harus terlalu dramatis:
Untuk pengguna:
- Pilih platform sesuai kebutuhan, jangan semuanya dipakai.
- Atur waktu, karena algoritma jualan lebih agresif.
- Pilih siapa yang kita ikuti, supaya feed tetap sehat.
Untuk kreator:
- Jangan memaksa audience beli sesuatu apa lagi kelas gak penting setiap hari.
- Gunakan fitur jualan sebagai alat, bukan identitas.
- Tetap jaga sisi manusia: cerita, insight, hal-hal yang tidak selalu transaksional.
Untuk pelaku usaha:
- Bagus manfaatkan fitur jualan, tapi jangan bergantung 100%.
- Bangun aset sendiri seperti website atau email list.
- Gunakan sosial media sebagai “jalan masuk”, bukan rumah utama.
Kesimpulan
Pada akhirnya, semua sosial media yang berlomba menambah fitur jualan bukan berarti teknologi berhenti berkembang. Tapi ini menunjukkan satu hal penting: mereka sedang mencari cara tetap relevan di dunia yang makin jenuh dan penuh perhatian terbatas.
Apakah teknologi media sosial sudah mentok?
Belum tentu.
Tapi jelas arahnya lagi bingung.
Dan sebagai pengguna, kita berhak memilih bagaimana ingin berinteraksi di dalamnya.
Pada akhirnya, setiap orang punya cara sendiri untuk tetap waras di tengah perubahan internet yang makin cepat entah itu dengan mematikan notifikasi, membatasi feed, atau sekadar menikmati media sosial tanpa harus ikut jualan setiap hari.



