Ada satu hal kecil yang sering bikin saya garuk-garuk kepala kalau lagi baca status atau denger orang ngomong JJalan kaki sebentar udah olahraga padahal cuma warung, kantor, & keliling Mall
Padahal… yaa kalau cuma 5 menit jalan pelan sambil scroll HP, itu lebih mirip “bergerak dikit biar nggak karatan” dan ini bukan benar-benar olahraga.
Menurut opini saya bukan berarti jalan kaki itu jelek — sama sekali bukan.
Yang bikin saya resah adalah cara berpikirnya: kita merasa sudah “sehat” hanya karena aktivitas gerak paling minimal, lalu merasa cukup.
Daftar isi
Jalan Kaki Itu Penting, Tapi Bukan “Kartu Bebas Dosa” Gaya Hidup
Kita hidup di negara di mana:
- naik tangga dua lantai sudah dianggap prestasi,
- jalan kaki dari lobi ke parkiran bisa dijadikan bahan bangga,
- dan kalimat “aku tiap hari kan jalan ke halte” sering dipakai sebagai alasan untuk tidak olahraga lagi.
Padahal yang terjadi seringnya begini:
- jalan pelan,
- durasi pendek,
- tanpa niat melatih apa pun,
- dan setelah itu seharian duduk lagi.
Itu aktivitas fisik ringan, bukan “program olahraga”.
Sama seperti bilang “aku rajin baca kok”
tapi yang dibaca cuma caption IG dan chat grup keluarga.
Masih lebih baik daripada tidak baca sama sekali, tapi kita nggak bisa disamakan dengan benar-benar membaca buku.
Kenapa Banyak Orang Menganggap Jalan Kaki = Olahraga?
Menurut saya, ada beberapa faktor budaya & cara pikir yang ngawur:
Trauma Kata “Olahraga”
Buat banyak orang, kata “olahraga” itu identik dengan:
- lari ngos-ngosan,
- keringat bercucuran,
- guru olahraga galak,
- rasa malu kalau kalah / lambat.
Jadi, ketika ada aktivitas yang:
- nggak bikin malu,
- nggak terlalu capek,
- nggak perlu ganti baju,
kita senang sekali menaruh label “olahraga” di situ. Jalan kaki jadi pilihan paling aman, padahal itu bukan olahraga itu kewajibanmu sebagai manusia.
Butuh Alibi Supaya Tidak Terasa Bersalah
Kita tahu harus hidup sehat, tapi:
- kerjaan numpuk,
- macet panjang,
- tugas rumah nggak habis-habis.
Akhirnya otak mencari alibi:
“Tadi aku kan jalan ke minimarket,
ya sudah cukup lah olahraganya.”
Dengan begitu, rasa bersalah berkurang. Padahal tubuh kita masih teriak:
“Halo… jantung & otot masih nganggur nih…”
3. Standar Gerak Kita Terlalu Rendah
Banyak dari kita hidup sangat sedentary: (sedentary adalah pola hidup mager.)
- kerja depan laptop,
- hiburan depan HP/TV,
- perjalanan duduk di motor/mobil.
Di level itu, jalan 500–1000 langkah saja sudah terasa “wow”.
Jadi wajar kalau otak menganggap itu “olahraga”.
Masalahnya: standar rendah ini pelan-pelan kita normalisasi.
Sampai lupa bahwa tubuh manusia didesain buat bergerak jauh lebih banyak dari itu.
Bedakan: Aktivitas Fisik vs Olahraga
Supaya nggak salah kaprah, menurut saya enak kalau dibedakan gini:
Aktivitas fisik sehari-hari
Contoh:
- jalan ke warung,
- jalan dari parkiran ke kantor,
- beres-beres rumah,
- naik turun tangga sedikit.
Ini bagus, tetap diperlukan, dan jauh lebih baik daripada 0 gerak.
Tapi sifatnya:
- tidak terstruktur,
- intensitas sering rendah,
- durasinya pendek dan terpotong-potong.
Olahraga terencana
Contoh:
- jalan cepat 30–45 menit tanpa putus,
- jogging,
- bersepeda,
- skiping,
- latihan beban (bodyweight atau gym).
Ciri-cirinya:
- ada niat: memang menyisihkan waktu khusus buat latihan,
- ada durasi minimal dan intensitas yang terasa menantang,
- idealnya diulang beberapa kali seminggu.
Jadi, kalau kamu jalan kaki 30–45 menit dengan langkah lebih cepat sampai napas sedikit terengah — itu olahraga.
Kalau cuma jalan santai 5 menit ke Indomaret sambil chat WA — itu cuma sekedar bergerak, belum cukup disebut olahraga.
“Yang Penting Kan Gerak Sedikit Daripada Nggak Sama Sekali?”
Ini kalimat yang sering banget saya dengar.
Jawaban saya: betul… tapi jangan berhenti di situ.
Gerak sedikit:
- bagus sebagai titik start,
- tapi berbahaya kalau dijadikan garis finish.
Masalahnya kalau:
- kita puas di level “titik start” itu,
- lalu menolak karena merasa “saya sudah sehat kok, tiap hari jalan.”
Padahal:
- tekanan darah,
- gula darah,
- kekuatan otot,
- dan ketahanan jantung,
butuh stimulus lebih serius daripada sekedar jalan santai 200 meter.
Menaruh Rp5.000 per hari di celengan itu bagus.
Tapi kalau kita menganggap itu sama dengan investasi jangka panjang,
ya jangan heran kalau tabungan masa depan tetap tipis.
Apa yang Bisa Kita Lakukan Biar Nggak Terjebak Mindset Ini?
Saya bukan dokter, bukan pelatih fitness.
Saya hanya orang biasa yang juga sering capek, mager, dan mencari alasan.
Tapi beberapa hal ini cukup membantu mengubah cara pikir saya:
Jujur Pada Diri Sendiri: Ini Olahraga atau Cuma Jalan?
Sebelum ngakunya “sudah olahraga”, coba tanya:
- Durasi: tadi jalan berapa menit?
- Intensitas: jalannya cepat sampai napas agak lebih dalam, atau pelan sambil scroll HP?
- Sengaja atau kebetulan: memang menyisihkan waktu jalan, atau cuma kebetulan karena parkiran jauh?
Kalau jawabannya lebih ke “sekedar aktivitas”, ya jujur saja bilang:
“Hari ini aku baru gerak dikit, belum benar-benar olahraga.”
Nggak apa-apa. Justru dari kejujuran itu kita bisa pelan-pelan sambil memperbaiki.
Naikkan Standar Pelan-pelan
Daripada langsung ambisius, lebih realistis kalau kita:
- mulai dari jalan cepat 10–15 menit,
- lalu naik ke 20–30 menit beberapa kali seminggu,
- atau selipkan satu dua sesi latihan beban ringan di rumah.
Pelan, tapi naik.
Jadikan Jalan Kaki Sebagai Gerbang, Bukan Tujuan Akhir
Saya justru ingin kita tetap mencintai jalan kaki.
Tapi posisikan dia sebagai:
Gerbang menuju gaya hidup aktif,bukan tujuan akhir yang bikin kita berhenti berkembang.
Misalnya:
- pakai jalan kaki sebagai pemanasan sebelum latihan lain,
- gunakan langkah harian (step counter) sebagai indikator, lalu tambahkan sesi olahraga terpisah.
Kesimpulan
Keresahan saya sederhana:
Kita terlalu cepat memberi label “olahraga”
untuk gerakan paling minimal yang kita lakukan sehari-hari.
Kalau hari ini kamu baru sanggup “jalan dikit”, nggak apa-apa.
Anggap itu langkah pertama.
Yang penting jangan berhenti di situ lalu berkata:
“Sudah, aku kan tiap hari jalan kaki.
Berarti aku sudah olahraga.”
Karena tubuhmu layak mendapatkan usaha yang lebih serius dari itu.



