Catatan santai tentang bagaimana platform sosial Kenapa Sosial Media Harus Ada AI? ketika pengguna “dipaksa” memakai AI, bukan hanya karena trend, tapi karena perilaku manusia yang makin sulit ditebak.
Halo teman semua ,
Di ryanpratama.com, saya cukup sering ngobrol soal website, hosting, desain, dan ekosistem digital.
Beberapa tahun terakhir, satu pola terlihat jelas: hampir semua sosial media sekarang berlomba memasukkan AI ke dalam fitur mereka.
Mulai dari rekomendasi konten, penghapusan spam, sampai fitur chat bot dan text generator.
Kadang saya bertanya-tanya, apakah ini benar-benar kebutuhan pengguna atau cuma dorongan tren? atau karena mereka sudah tercebur dalam buble ai ?
Tapi setelah saya pelajari lebih dalam, ternyata jawabannya cukup kompleks.
Tulisan ini bukan ajakan untuk menyukai atau membenci AI. Ini lebih ke catatan observasi saya tentang kenapa sosial media akhirnya harus — mau tidak mau — memakai AI.
Daftar isi
Sosial Media Bukan Lagi Tempat yang “Sederhana”
Awal-awal, sosial media cuma butuh timeline kronologis.
Siapa yang posting, ya itu yang kamu lihat.
Tidak ada algoritma rumit, tidak ada rekomendasi aneh, tidak ada konten tak dikenal masuk ke beranda.
Sekarang?
- Pengguna miliaran.
- Konten setiap detik terus bertambah.
- Format konten makin variatif.
- Perilaku pengguna makin tidak terprediksi.
Tanpa AI, platform modern tidak akan bisa menangani chaos sebesar itu.
Itu alasan pertama: volume pengguna.
Kenapa Sosial Media “Dipaksa” Memakai AI?
Ada beberapa hal mendasar yang membuat AI bukan sekadar pilihan, tapi keharusan bagi platform besar.
Jumlah konten terlalu banyak untuk dikelola manusia
Dalam 1 menit di internet:
- Ratusan ribu video baru di-upload.
- Jutaan komentar dikirim.
- Foto, artikel, dan status muncul tanpa henti.
Kalau semua diurutkan manual, feed kita akan berantakan. AI digunakan untuk:
- Memilih konten menarik buat kamu
- Menyaring spam & bot
- Mendeteksi konten berbahaya
- Memproses laporan miliaran postingan
Tanpa AI, timeline kita jadi lautan sampah digital.
Manusia sekarang konsumsi konten dengan cara yang beda
Jujur saja, kita semua makin tidak sabar.
- Mau yang cepat.
- Mau yang relevan.
- Mau yang bikin ketawa.
- Mau yang tidak perlu dicari.
AI dipakai untuk “membaca” pola kita apa yang kita tonton, berapa lama, apa yang kita skip, komentar apa yang kita baca.
Karena itulah feed jadi terasa personal. Kadang menyenangkan, kadang menakutkan.
Saya pernah sekali waktu ngobrol tentang keinginan upgarde pc dan mencari sparepart di toko online, tanpa sadar ketika membuka sosial media kenapa isinya promo rakit pc ? padahal saya tidak mencarinya di sosial media
Platform bersaing untuk mempertahankan perhatian
Di era sekarang, perhatian manusia adalah mata uang paling mahal.
Perusahaan harus:
- Menebak minat kita
- Memperkirakan konten apa yang bikin kita stay
- Memilih postingan mana yang muncul duluan
Tidak ada cara melakukannya tanpa AI. Bukan karena platform jahat, tapi karena kompetisinya ekstrem .
AI membantu mengurangi biaya operasional
Moderasi manual itu mahal dan sering tidak efektif.
Bayangkan harus:
- Meninjau video kekerasan
- Menghapus konten penipuan
- Menangani spam jualan
- Memfilter hoaks
- Menghadapi ribuan laporan setiap menit
AI jadi “filter awal” sebelum manusia turun tangan. dulu saya pernah dengar di facebook ada pekerjaan khusus untuk filter konten seperti itu, bayangkan orang di perlihatkan konten seperti itu setiap hari. dari segi kesehatan pasti tidak sehat mentalnya.
Era baru: interaksi bukan lagi manusia ke manusia
Sekarang ada:
- Bot komentar
- Bot jualan
- Bot spam
- AI-generated video
- Deepfake
- Konten otomatis
Tanpa AI, platform ataupun bahkan penggunanya tidak akan bisa membedakan mana manusia, mana mesin.
Ketika AI di Media Sosial Menjadi “Normal”
Lucunya, banyak orang sebenarnya sudah menikmati AI tanpa sadar.
Contohnya:
- Rekomendasi video TikTok yang kayak tahu isi pikiran kita.
- Instagram Explore yang pas banget sama mood.
- YouTube yang kayak tahu apa yang ingin kita pelajari.
- WhatsApp auto-reply yang makin pintar.
AI sudah jadi tulang punggung pengalaman digital. Kita mungkin tidak suka istilahnya, tapi kita menikmati hasilnya.
Tapi Ada Sisi Lain yang Harus Kita Sadari
AI bikin sosial media lebih nyaman, tapi ada sisi yang bikin saya mikir panjang untuk selalu menggunaknnya. di data saya setiap hari saya meluangkan paling sedikit 1 jam untuk satu media sosial.
Kita makin dikurung dalam bubble
Feed tidak lagi acak.
Feed disesuaikan.
Kadang terlalu sesuai.
Akhirnya, kita tidak lagi berinteraksi di dunia, kita melihat cermin dari diri sendiri.
Kreator terdorong membuat konten demi algoritma, bukan demi manusia
Kita sering lihat:
- Judul dipaksakan clik bait
- Video dibuat potongan saja tanpa konteks demi retention
- Konten panjang dikorbankan
- Gaya seragam “biar masuk FYP”
AI membentuk perilaku kreator, bukan sebaliknya.
Privasi makin tipis
Platform tahu:
- Jam berapa kamu aktif
- Apa yang kamu tonton diam-diam
- Topik apa yang kamu hindari
- Hal apa yang bikin kamu berhenti scroll
AI membuat semuanya terukur. Ada sisi nyaman, ada sisi creepy.
Jadi, Kenapa Sosial Media Harus Ada AI?
Kalau disederhanakan ini menurut saya ya:
- Karena manusia terlalu banyak.
- Karena konten terlalu besar volumenya.
- Karena platform butuh mempertahankan perhatian.
- Karena perilaku digital makin kompleks.
- Karena kalau tidak ada AI, pengalaman pengguna akan buruk.
AI bukan dipakai karena keren.
AI dipakai karena tanpa itu, platform akan runtuh.
Apa yang Bisa Kita Lakukan Sebagai Pengguna?
Sedikit tips dari saya:
- Sadari bahwa timeline tidak netral.
- Jangan biarkan AI menentukan semua keputusan kita.
- Pilih apa yang benar-benar ingin kita konsumsi, bukan hanya yang direkomendasikan.
- Ikuti akun yang memberi nilai, bukan hanya yang viral.
- Ingat bahwa AI membantu, tapi tetap bisa salah membaca manusia.
Ini sekalian jadi catatan buat saya juga. Kadang saya terlalu mengikuti algoritma, sampai lupa memilih secara sadar.
Kesimpulan
Pada akhirnya, sosial media menggunakan AI bukan sekadar ikut tren. Ini kebutuhan struktural agar platform bisa bertahan di dunia yang penuh konten dan penuh manusia dengan kebiasaan digital yang cepat berubah.
AI membuat sosial media terasa lebih pintar, tapi juga lebih personal, lebih agresif, dan kadang lebih melelahkan.
Dan di tengah semua itu, kita tetap punya kebebasan: memilih apa yang ingin dilihat, membatasi apa yang tidak perlu, dan tetap menjaga diri di dunia yang makin pintar… tapi belum tentu makin manusiawi.
Sumber :
Gamabr utama :https://unsplash.com/illustrations/robotic-hand-interacting-with-ai-interface-and-chat-bubbles-idbQVGIP-LQ



