Ketika Semua Hal Dibikin “Tim A vs Tim B”dan Kita Dipaksa Memilih Padahal Nggak Wajib

Ketika Semua Hal Dibikin “Tim A vs Tim B”dan Kita Dipaksa Memilih Padahal Nggak Wajib
Pilih Bahasa :

Halo teman,

Di ryanpratama.com, saya sering ngobrol soal dunia digital, , website, dan hal-hal teknis. Tapi di balik semua itu, ada satu pola di sosial media yang makin sering saya lihat dan jujur agak melelahkan:

Konten yang kerjaannya membandingkan “tim A” vs “tim B” — seolah hidup ini cuma soal memilih kubu.
Tim iPhone vs Android.
Tim WFO vs WFH.
Tim nikah muda vs nikah tua.
Tim kerja kantoran vs full freelancer.

Lalu dibungkus dengan narasi yang halus tapi menekan:

“Kalau kamu waras / produktif / sukses / normal… kamu harusnya ada di tim ini.”

Padahal?
Kita nggak wajib ikut tim mana pun, kita bisa tidak memilih.


Era Konten “Pilih Kubu” yang Capek Tapi Tetap Viral

Coba perhatiin timeline teman-teman:

  • Konten yang kalem dan seimbang biasanya like-nya biasa saja.
  • Konten yang judulnya provokatif:
    • “Hanya orang bodoh yang masih…”
    • “Kalau kamu masih melakukan X, ya jangan salahkan hidupmu berantakan.”
    • “Cuma orang yang nggak mikir yang pilih Y.”

Itu yang meledak.
Komentar ramai, share tinggi, dan kreatornya dapat boost algoritma.

Jadilah muncul pola
Semua hal harus dibuat seolah perang antara dua tim.

Bukan lagi:

“Ini sudut pandang saya, silakan ambil yang cocok.”

Tapi:

“Kalau kamu tidak di pihak saya, berarti kamu salah, ketinggalan, atau belum ‘melek’.”

Padahal realitanya hidup jauh lebih berantakan dan kompleks daripada sekadar “A lebih baik dari B untuk semua orang.”


Lalu Kenapa Banyak Orang Ikut Terseret?

Ada beberapa alasan kenapa konten “tim A vs tim B” mudah sekali menarik perhatian orang:

  1. Manusia suka kejelasan, benci abu-abu
    Hidup sebenarnya penuh zona abu-abu. Tapi konten yang laris justru yang menawarkan jawaban tegas:
    • “Ini salah, ini benar.”
    • “Ini modern, itu ketinggalan.”
      Efeknya: kita merasa lebih nyaman saat ada kubu yang bisa dipegang. padhal tidak seharusnya kita seperti itu.
  2. Rasa takut tertinggal (FOMO)
    Begitu lihat konten: “Masih kerja kantoran di 2025? Serius?”
    Orang yang kerja kantoran bisa langsung insecure. Padahal mungkin dia happy, gajinya cukup, hidupnya tenang-tenang saja.
  3. Butuh identitas cepat
    Di internet, manusia lebih gampang dan suka nempel ke label:
    • Tim A
    • Tim B
      Daripada benar-benar mikir: “Sebenarnya aku cocoknya yang mana ya? atau aku gak cocok dikeduanya”
  4. Algoritma senang konflik halus
    Konten yang memancing debat, pro kontra, dan komentar panjang akan lebih sering di-push. Kreator pun tahu ini, dan sebagian mulai “mengemas pandangan” supaya lebih memecah, bukan menjelaskan.

Dan di titik ini, pelan-pelan kita bukan lagi penonton yang santai, tapi merasa wajib berpihak pada satu sisi.


Saat Kreator Lebih Kejar Viral daripada Kejujuran

Banyak kreator yang sebenarnya punya niat baik.
Tapi sistem sosial media memang “menghadiahi” yang viral, bukan yang seimbang.
Jadinya:

  • Judul dibuat lebih tajam
    Bukan lagi: “Plus minus kerja kantoran dan freelance.”
    Tapi:
    “Kerja kantoran itu jebakan, cuma orang berani yang jadi freelancer.”
  • Nuansa dikorbankan demi hook
    Penjelasan lengkap mungkin 10 menit, tapi yang penting 30 detik pertama bikin penonton:
    • Kaget
    • Marah
    • Ngerasa “kejedot”
  • Informasi jadi bias
    Data dan pengalaman yang mendukung opini kreator ditampilkan besar-besaran.
    Yang bertentangan? Diskip saja.
    Padahal hidup orang berbeda-beda:
    • Ada yang kerja kantoran bahagia.
    • Ada yang freelance sengsara.
    • Ada yang sebaliknya.
      Tapi di konten, sering digambarkan seolah satu jalan selalu lebih benar.

Akhirnya yang terjadi:
Konten bukan lagi tempat bertukar perspektif, tapi arena branding opini. Yang penting:

“Gimana caranya opini saya terlihat paling keren dan paling pantas diikuti?”


Bias Informasi Yang Keras Terdengar Lebih Benar

Di tengah banjir informasi, ada satu hal yang mengganggu:
Yang paling kencang suaranya, seringkali tampak paling benar — padahal belum tentu.

Bias informasi ini muncul karena:

  • Kreator yang ekstrem lebih mudah menonjol
    “Hidupmu salah kalau memilih X” akan lebih sering diingat orang dibanding:
    “X dan Y bisa baik, tergantung kondisi kamu.”
  • Penonton jarang punya waktu cek ulang
    Kita jarang:
    • Buka data sendiri
    • Cari sudut pandang lain
    • Nanya: “Ini cocok nggak buat kondisiku?”
  • Semua terlihat valid hanya karena banyak yang like
    Kalau sudah:
    • View ratusan ribu
    • Like ribuan
    • Komentar panjang-panjang
      Otak kita gampang tertipu: “Berarti ini benar dong.”
      Padahal bisa saja itu hanya resonansi sesama “tim” yang sudah setuju dari awal.

Di titik ini, kita bukan lagi mencari kebenaran, tapi mencari kubu yang membuat kita merasa paling “pintar”, “melek”, dan “superior”.


Kamu Tidak Wajib Ikut Tim Mana Pun

Ini mungkin bagian terpenting dari tulisan ini:

Kamu tidak wajib ikut tim siapa pun.

Seriusan.

Kalau ada konten yang bilang:

  • “Di 2025 masih X? Fix kamu salah jalan.”
  • “Normalnya orang sekarang itu Y, kalau nggak berarti…”

Kamu berhak jawab (meski cuma dalam hati):

“Tenang, hidupku bukan kontenmu.”

Hal-hal yang jarang disebut kreator ketika bikin konten perbandingan:

  • Kondisi tiap orang beda
    • Ada yang punya privilege tertentu, ada yang nggak.
    • Ada yang punya tanggungan keluarga.
    • Ada yang tinggal di kota, ada yang di desa.
  • Kesiapan mental & finansial nggak sama
    Hal yang buat kreator itu “loncatan berani” bisa jadi buat orang lain justru “lompat ke jurang”.
  • Timeline hidup bukan lomba
    Nikah umur 23 atau 35.
    Beli rumah sekarang atau nanti.
    Punya atau nggak sama sekali.
    Semua sah-sah saja kalau kamu paham konsekuensinya dan menerimanya.

Jadi ketika nonton konten “tim A vs tim B”, selalu ingat:

Konten itu dibuat untuk banyak orang.
Hidupmu cuma satu, dan sangat spesifik.


Gimana Menikmati Konten Tanpa Ikut Terseret Kubu?

Beberapa sikap yang bisa membantu supaya kita nggak gampang kebawa arus:

  1. Tonton sebagai referensi, bukan perintah hidup
    Anggap konten itu:
    • Contoh kasus
    • Pengalaman orang lain
    • Opini, bukan hukum alam
  2. Biasakan bertanya: “Ini cocok nggak buat aku?”
    Sebelum:
    • Ikut kursus karena FOMO
    • Resign karena merasa “katanya kalau mau maju harus keluar zona nyaman”
    • Pindah haluan total karena satu video
      Coba tanya:
    • Kondisi keuangan aku gimana?
    • Mental aku siap nggak?
    • Lingkungan dan tanggunganku seperti apa?
  3. Cari konten yang menyajikan dua sisi dengan jujur
    Kalau ada kreator yang bisa bilang:
    • “Ini plus minusnya.”
    • “Ini cocok untuk X, nggak cocok untuk Y.”
      Itu biasanya lebih sehat diikuti daripada yang cuma bilang:
    • “Kalau bukan ini, ya bodoh.”
  4. Kurangi konsumsi konten yang selalu memecah
    Kalau tiap kali nonton kreator tertentu kamu:
    • Jadi lebih sinis ke orang lain
    • Lebih merasa “paling benar” dan suka merendahkan
    • Lebih sering gelisah daripada tercerahkan
      Mungkin bukan kamu yang terlalu baper. Bisa jadi memang gaya kontennya dirancang untuk itu.
  5. Ingat bahwa diam dan tidak memilih kubu juga pilihan
    Tidak perlu selalu punya pendapat ekstrem atas semua isu.
    Kadang jawabannya cukup:
    • “Aku belum tahu.”
    • “Aku masih mikir.”
    • “Untuk sekarang, aku jalan versi aku dulu.”

Hidupmu Bukan Konten Orang Lain

Di era kreator dan konten yang makin banyak, wajar kalau rasanya seperti ditarik ke kanan-kiri:

  • Suruh jadi tim A atau tim B.
  • Suruh percaya cara hidup ini dan menganggap yang lain salah.
  • Suruh ikut ini kalau nggak mau “ketinggalan zaman”.

Padahal, yang paling tahu kondisi dan kebutuhan hidupmu ya… kamu sendiri.

Konten bisa jadi:

  • Inspirasi
  • Sudut pandang baru
  • Bahan mikir

Tapi begitu konten mulai membuat kamu:

  • Ngerasa tertekan harus ikut kubu
  • Merasa gagal hanya karena pilihanmu beda
  • Meremehkan orang lain yang tidak sejalan

Mungkin sudah waktunya tarik napas, pelan-pelan scroll, dan ingat:

Tidak semua perbandingan harus kamu telan.
Tidak semua “tim” harus kamu ikuti.
Tidak semua hal harus dibuat jadi perang dua kubu.

Sumber:

Gambar Utama : https://unsplash.com/id/ilustrasi/manusia-menjelajahi-realitas-vurtual-pengguna-mengambang-di-antara-objek-geometris-konsep-gaya-modern-dari-teknologi-vr-devekjping-ilustrasi-vektor-vMzbN6dHJS8

Artikel Sebelumnya

Grandfather Coffeeshop

Artikel Berikutnya

Hedon Estate | Kitchen & Lounge

Tulis Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *