Halo teman,
Internet Indonesia di akhir november 2025 lagi heboh.
Bukan soal politik, bukan soal gosip seleb, tapi… soal tumbler kopi. yaa semua membahas tumblerr saat Bad news is good news, ketika drama tumbler Tuku bikin satu brand “naik kelas” dalam semalam
Lebih spesifik lagi: tumbler Tuku yang hilang di KRL, lalu berubah jadi drama nasional.
Satu unggahan soal barang ketinggalan bisa merembet ke:
- petugas KRL yang dikira dipecat,
- perdebatan soal etika komplain di medsos,
- serbuan netizen ke akun brand,
- sampai naiknya pamor sebuah tumbler yang tadinya “cuma merchandise”. Kronologi
Di postingan ini, aku nggak mau nambah bensin ke dramanya.
Aku lebih pengin ngobrol soal fenomenanya: bagaimana “bad news” bisa tiba-tiba berubah jadi “good news” buat sebuah brand sekaligus mengingatkan kalau di balik traffic & exposure, selalu ada manusia yang kena dampak. padahal saya tidak terlalu peduli dengan tubler tapi karena muncul terus mari saya bahas
Daftar isi
Sekilas kronologi
Versi super singkat (biar kita satu konteks) Koreksi kalau salah:
- Seorang penumpang KRL ketinggalan tas (cooler bag) di kereta rute Tanah Abang–Rangkasbitung. Di dalamnya ada tumbler Tuku.
- Tas ditemukan petugas dan didokumentasikan, lengkap dengan isi di dalamnya. Saat tas kembali ke pemilik, tumblernya disebut sudah hilang
- Pemilik bercerita di media sosial (Threads/X). Cerita itu viral, dan narasi di luar sana berkembang sampai muncul isu: ada petugas KRL yang di duga “menjadi korban” dan disebut-sebut sampai kehilangan pekerjaan.
- Netizen pun terbagi dua kubu: yang membela pemilik tumbler, dan yang membela petugas. Kolom komentar media sosial KAI dan Toko Kopi TUKU ikut kebanjiran komentar saya tidak tahu apa ada hubungannya dengan tumbler TUKU.
- Pihak KAI kemudian klarifikasi bahwa petugas tersebut tidak dipecat, melainkan hanya dilepas dari dinas terlebih dulu, dan kasus ini akhirnya berujung mediasi kekeluargaan antara pemilik tumbler dan petugas.
Satu tumbler, satu postingan, efeknya nasional.
Tumbler kopidari wadah minum jadi status sosial kecil-kecilan
Kenapa kasus ini bisa viral?
Selain karena dramanya, ada faktor lain menurut saya tumbler kopi itu sendiri sudah jadi simbol gaya hidup.
Beberapa media sampai menulis khusus soal bagaimana tumbler kopi termasuk Tuku sekarang dilihat sebagai bagian dari identitas urban peduli lingkungan, ngopi “naik kelas”, sampai jadi penanda status sosial halus di kalangan tertentu.
Jadi kurleb seperti ini:
- tumbler-nya limited / estetik,
- harganya nggak murah untuk sebagian orang,
- dan ditempelkan pada brand kopi yang sudah punya fanbase,
drama soal tumbler yang hilang otomatis jadi lebih “seksi” untuk dibahas.
Netizen pun ikut memberikan komentar:
- Kronologi hilangnya tumbler,
- Profil Toko Kopi TUKU dan pendirinya,
- Harga-harga detail berbagai jenis tumbler Tuku di e-commerce.
Dari sekadar barang hilang, pelan-pelan narasinya bergeser jadi:
“Tumbler apa sih ini sampai bisa bikin geger satu negara?”
Dan di titik itulah, bad news mulai berubah jadi good news minimal dari sisi exposure brand.
Bad news is good siapa yang “diuntungkan” dari drama ini?
Kita tarik nafas sebentar, taruh empati dulu di depan yaa. ini murni opini saya
Karyawan yang terseret isu jelas nggak “untung”. Keluarga dan kesehatan mental orang-orang yang viral juga nggak “untung”.
Tau sendiri bagaimana tangan lentik netizen di komentar
Setelah saya cari tahu Tumbler dan Kopi TUKU ternyata satu perusahaan ya,
Kalau dulu tumbler ilang emak yang marah kali ini satu indonesia
Tapi kalau kita lihat dari kacamata branding & marketing murni, efeknya ke Tumbler Tuku dan Toko Kopi TUKU cukup jelas:
- Brand mention di mana-mana
Nama “Tumbler Tuku” dan “Kopi TUKU” muncul di:- berita nasional,
- portal lifestyle & ekonomi,
- opini sosial,
- sampai thread panjang di Facebook & X.
- Traffic penasaran
Orang yang tadinya tidak tahu Merk TUKU jadi:- Googling: “tumbler Tuku berapa”, “di mana beli tumbler Tuku”
- Kepo ke Instagram & situs mereka
- Mencari tahu lokasi gerai dan toko onlinenya.
- Produk tiba-tiba naik kelas persepsi
Harga tumbler yang tadinya mungkin terasa “ya sudah, merchandise kopi” tiba-tiba dibahas detail di media, lengkap dengan daftar harga dan varian. Produk yang sama sekarang punya cerita, drama, dan nilai simbolik yang lebih tinggi di kepala orang yang tidak tahu. - Demand mendadak naik
Beberapa media mencatat bagaimana tumbler TUKU jadi buruan warganet setelah kasus ini ada yang sekadar ikut hype, ada yang empati dan ingin “menebus” drama yang terjadi.
https://mistar.id/news/ekonomi/kasus-tumbler-tuku-heboh-harga-tembus-rp300-ribu-dan-jadi-buruan?utm_source=chatgpt.com
Ini semua textbook banget teori “bad publicity is still publicity”.
Bahkan kadang disebut juga Streisand effect (sesuatu yang tadinya kecil, justru makin besar karena dihebohkan.)
Tapi… selalu ada harga yang dibayar
Walau exposure dan awareness naik, “bad news is good news” bukan hal yang romantis kalau kita lihat dampak manusianya:
- Seorang petugas lapangan yang namanya ikut tersebar, diserbu simpati dan sorotan publik.
- Pasangan pemilik tumbler yang akhirnya dihujani hujatan, sampai perlu minta maaf dan mediasi.
- Karyawan brand (CS, admin sosmed) yang harus menjawab komentar, DM, dan review dengan emosi netizen yang lagi panas.
Di sini kelihatan jelas:
Buat brand, drama bisa jadi momentum.
Buat manusia, drama bisa jadi trauma.
Dan itu sesuatu yang menurutku perlu kita ingat setiap kali ngomong “bad news is good news”.
Pelajaran kecil tapi berharga buat pemilik brand & usaha kecil
Kalau kamu punya brand entah kopi, pakaian, jasa, atau apa pun kasus tumbler Tuku ini kaya banget akan pelajaran.
Siapkan “mode krisis” bahkan sebelum krisis datang
Nggak harus pake tim PR besar. Minimal:
- Siapa yang akan bicara kalau ada masalah viral?
- Di mana pernyataan resmi akan diposting (IG, website, siaran pers)?
- Apa prinsip komunikasimu? (misalnya: jujur, jangan lempar kesalahan ke individu, responsif tapi tidak reaktif) ingat jangan raktif kayak pemimpin konoha
KAI dan pihak terkait akhirnya mengeluarkan klarifikasi resmi soal status karyawan dan kronologi — langkah seperti ini penting untuk meredam spekulasi liar.
https://herald.id/2025/11/27/kisah-tumbler-tuku-isu-pemecatan-petugas-krl-dan-klarifikasi-pt-kai/
Jangan diam, tapi juga jangan ikut mendramatisir
Brand yang dewasa akan:
- Mengakui kalau ada pihak yang terdampak,
- Menjelaskan fakta dengan tenang,
- Menghindari kalimat yang makin menyudutkan siapapun.
Kamu bukan hanya sedang berbicara ke netizen marah, tapi juga ke calon pelanggan masa depan yang memperhatikan cara kamu menangani masalah.
Jangan eksploitasi drama secara MURAHAN
Memang godaan besar banget untuk:
- Bikin promo “diskon tumbler viral”,
- Bikin konten iklan yang numpang di narasi netizen,
- Atau selip-selipin copywriting yang terlalu eksplisit manfaatkan kontroversi.
Bisa saja ini memicu short-term sales, tapi juga bisa menanam persepsi kalau brandmu oportunis dan tidak peka. Selalu ingat netizen akan mencari celah dari setiap tanggapanmu.
Kalau mau memanfaatkan momentum, lakukan dengan cara yang lebih berkelas, misalnya:
- Edukasi soal prosedur lost & found di bisnis kamu,
- Konten tentang empati ke pekerja frontline,
- Atau kampanye positif lain yang tetap relevan dengan kasusnya tanpa menjadikan orang-orang di dalam drama sebagai bahan jualan.
Bangun komunitas yang sehat, bukan pasukan bully
Kalau brandmu punya pembeli militan, kamu punya tanggung jawab tambahan:
- Jelaskan dengan halus bahwa kamu tidak mendukung perundungan ke siapapun.
- Arahkan energi mereka ke hal yang lebih konstruktif (review jujur, feedback produk, dsb.).
Pelajaran buat kita sebagai konsumen & pengguna internet
Di luar kacamata brand, kasus tumbler Tuku ini juga tamparan pelan buat kita sebagai pengguna internet:
- Think before you post
Curhat boleh, komplain boleh. Tapi selalu ada kemungkinan postinganmu meledak di luar kontrol, dan tiba-tiba hidup orang lain ikut terguncang. - Bedakan sistem vs individu
Kritik prosedur, kebijakan, SOP → penting.
Serang orang tertentu tanpa fakta lengkap → bahaya. - Verifikasi sebelum ikut bakar massa
Banyak orang yang langsung marah dulu, baru baca kronologinya belakangan. Padahal klarifikasi, mediasi, dan fakta lapangan pelan-pelan muncul dari berbagai pihak. - Ingat: yang viral itu tetap manusia
Di balik username, ada orang yang bisa cemas, malu, stres, atau kehilangan pekerjaan.
Jadi, apakah bad news selalu good news?
Jawabannya: tidak selalu.
Mungkin cara yang lebih sehat untuk melihatnya:
Bukan “bad news is good news”,
tapi “bad news is a mirror”
Cermin yang memaksa kita berkaca
Saya sengaja bahasnya saat sudah mulai reda karena tidak mau menuang bensin di saat sedang ada yang dibakar dan seharusnya sudah turun beritanya saat tulisan ini diposting.